Jumat, 11 Juni 2010

PURNAMA DI PESISIR

1. EXT. PANTAI - SIANG.

Buih ombak menyapu pasir hitam, seekor keong berjalan diantara sampah-sampah yang terserak. Muncul sekop berkarat yang menggali-gali pasir oleh PEMUDA (20 tahun) bertopi SD yang sudah lusuh.
Terdapat beberapa lubang bekas galian pada pantai, tampak pula ember-ember berisi pasir dan karung-karung, keong kembali in frame di antara sampah-sampah dan rumput liar.
Tangan kecil NIRMA (13 tahun) sedang berusaha menggapai boneka yang terdampar diantara bebatuan. EMAN (40 tahun) dengan rambut gimbal dan berbaju sobek-sobek menjatuhkan dirinya untuk menangkap keong. Keong itu ia letakkan di tangannya.

EMAN
Lama nggak ketemu. Kamu mau coba lari ya? Saya udah suruh kamu cari istri sama anak-anak saya, inget kan? Kamu liat mereka nggak? Kenapa? Kan waktu itu saya bilang, istri saya cantik, kulitnya coklat, nggak terlalu tinggi, hidungnya pesek.

Sementara itu Nirma berhasil mengambil boneka yang rambutnya sempat tersangkut bebatuan dan sampah-sampah. Ia menoleh ke arah dermaga.
Pada dermaga kayu, tampak PEREMPUAN TIONGHOA (25 tahun) memegang guci berisikan abu almarhum, dan 2 LAKI-LAKI TIONGHOA (28 & 30 tahun) di belakangnya memegang foto almarhum dan bunga-bunga.

Agak jauh dibelakang mereka, CHONG (50 tahun) menyusul. Mereka, kecuali Chong, naik ke perahu yang terikat di ujung dermaga dengan dibantu oleh PENJAGA PERAHU (30 tahun), perahu mulai meninggalkan pantai, mereka semakin menjauh.

Chong hanya melepas kepergian mereka. MUS (28 tahun) sedang menggosokkan badan kapal sambil mendengarkan LAGU DANGDUT dari sebuah radio kecil. Pada latar belakang terlihat rumah-rumah bata yang berdiri dengan padat.

Mus menghampiri Chong, sambil melakukan salam dengan kedua tangannya, kemudian mengambil surat dari saku celana belakangnya.

2. INT. RUMAH NIRMA - SIANG.

Dari jendela yang terbuka, sambil memeluk boneka yang bagian mulutnya hilang dan kedua matanya memerah karena luntur, Nirma melihat Chong sedang membaca surat sambil berbicara dengan Mus yang sesekali menengok ke arahnya.

Chong kemudian memberikan amplop kepada Mus yang langsung menerimanya.
TERDENGAR DENGUNG LALAT DARI ARAH BELAKANG NIRMA.

3. EXT. PANTAI - SIANG.

Chong menepuk bahu Mus, kemudian beranjak dari dermaga. Mus maju ke arah papan yang memberitahukan akan ada pembangunan tanggul, Ia mulai menatap ke arah rumah Nirma.
Nampak rumah Nirma yang reot juga beberapa rumah lain, bangkai perahu dan jaring nelayan yang terjemur tanpa ada ikan, serta sejumlah karung pasir yang tersusun di pinggir tanggul.

Eman berdiri di atas bangkai perahu dengan jaringnya yang di ikatkan di lehernya, layaknya superhero dan mulai BERTERIAK ke arah laut.

EMAN
(berteriak)
Asiiih. Aku mau nyusul. Tapi gimana caranya? Satu bulan lagi, eh tiga bulan, eh nggak tau. Tapi aku mau nyusul, tapi aku nggak tau.

4. EXT. DEPAN RUMAH NIRMA - FAJAR.

Nirma sedang mengambil pasir dari karung pasir yang bocor, lalu ia tadahkan dengan ember. Nirma mondar -mandir mengambil pasir, masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Eman sibuk dengan jalanya mengambil sampah-sampah, yang tersangkut di jaringnya.

EMAN
Ini lagi, ini lagi. Ikan sekarang udah pada pinter ya, susah ditangkepnya. Malah ginian mulu yang kena, hah.

Nampak beberapa tumpukan sampah yang sudah dikumpulkan oleh Eman, membukit di sekitarnya.

5. EXT. KAPAL MUS - FAJAR.

Mus memperhatikan dari balik kapalnya melihat keanehan Nirma yang mengumpulkan pasir ke dalam rumah.

6. EXT. JALAN DI PEMUKIMAN PESISIR - SIANG.

Mus sedang berjalan beriringan dengan DUA WARGA PESISISIR. Langkah Mus seakan tergesa-gesa.

WARGA PESISIR 1
Kapan lagi Mus? Chong udah baik mau bikin tanggul, kalau cuma gara-gara rumah-rumah itu terus nggak jadi, bisa kita kan yang kena pasang nanti.

WARGA PESISIR 2
Yang diminta Chong kan cuma satu, yang penting pemilik rumah-rumah itu mau digusur dengan rela. Tinggal rumah Malik doang tuh yang susah, masa lo nggak bisa usahain?

MUS
Kata Nirma, Malik lagi pergi. Gue nggak mau maen gusur aja, Chong juga, entar nunggu Malik pulang dulu.

WARGA PESISIR 2
Keburu banjir Mus.

MUS
Chong bilang gitu ke gue, lo aja sono ngomong ama orangnya sendiri.

Mus mulai menambah kecepatan langkahnya, meninggalkan dua warga yang segera berhenti.

7. INT. RUMAH NIRMA - MALAM.

Nirma tengah menyalakan beberapa lilin merah, terlihat plastiknya bergambar naga, lelehan lilin merah ini menghiasi meja yang berada di dekat tempat tidur Nirma.
Nirma membawa lilin ke depan bilik bapaknya, disana ia juga menyalakan beberapa lilin agar ruangan ini tampak terang. Ruangan rumah ini kecil, terbuat dari bilik dan bambu.

Ember tempat mengangkat pasir berada di dekat bilik bapaknya yang berantakan karena tertutupi berbagai macam barang. Terdapat peralatan nelayan bergantung saja di dinding bilik.

Nirma bersiap untuk tidur, angin mulai berhembus dan membuat jendela terbuka dan menutup. Bahkan pintu seperti ada seseorang yang memaksa masuk.
Nirma memeluk bonekanya dan menutupi seluruh badannya dengan kain. Tak lama air pasang masuk ke dalam rumah Nirma. Api lilin terlihat goyah dan redup.

8. INT. RUMAH NIRMA - PAGI.

Nirma tengah tertidur, nampak sinar pagi menyinari wajahnya, ia mulai membuka matanya dan melihat pasir hitam serta barang-barang berceceran.
Dari bilik bapaknya yang ditutupi meja, kursi dan beberapa barang lain, terlihat semakin berantakan karena pasir-pasir hitam keluar lagi dari dalamnya.
SUARA LALAT YANG MENDENGUNG TERDENGAR JELAS DARI BALIK BILIK ITU.

9. EXT. DEPAN RUMAH NIRMA - PAGI.

SEJUMLAH WARGA PESISIR sudah membawa beberapa bahan rumah tetangga Nirma, ada yang melewati Nirma dengan tatapan sinis. Melihat itu, Mus menghampiri Nirma, kemudian berjongkok di depannya.

MUS
Bapak kamu sudah pulang?

Nirma hanya terdiam dan melihat pendangan sinis warga. Wajah Mus terlihat mulai marah.

MUS
(marah)
Kamu jangan buat orang-orang disini susah ya. Kapan bapak kamu pulang?

Melihat Mus marah, warga tertegun, seperti baru melihat sosok lain seorang Mus.

MUS
Sampai besok bapak kamu nggak muncul, kita terpaksa bongkar rumah kamu juga.

Nirma masih terdiam memeluk bonekannya. Eman nampak sedang merebut potongan-potongan rumah yang tengah di bongkar oleh warga sambil menangis.
Tinggallah Nirma dan Mus di depan rumah Nirma. Wajah Mus kembali berubah, menjadi lembut setelah mengetahui tidak ada lagi warga di dekatnya. Mus juga mengusap kepala Nirma. Yang tadi ia lakukan adalah berpura-pura di depan warga.

10. EXT. PANTAI - SIANG.

Mus sedang menyiramkan badan kapalnya yang kotor akibat air pasang semalam. Ia melihat Nirma berjalan menuju krematorium.

11. EXT. KREMATORIUM - SIANG.

Nirma sedang mengintip proses pembakaran mayat dengan manual, pintu yang tertutup dan asap tebal. Tak lama pintu terbuka dan abu pembakaran mulai dimasukkan ke dalam guci. PARA PENZIARAH berbaju putih hitam yang duduk ditempat tersedia.

Terdapat jadwal pembakaran menempel di tembok, tak lama kemudian PENJAGA KREMATORIUM (30 tahun) mempersiapkan beberapa kayu dan minyak.

Nirma memperhatikan pengumpulan kayu tersebut, lalu meneruskan perjalanan ke tempat penyimpanan abu yang megah. Nirma melihat ada sesajen yang terdiri dari buah dan makanan.

PEREMPUAN PENJAGA SESAJEN (25 tahun) tengah tertidur. Tangan Nirma mengambil beberapa buah dan makanan, tampak lilin merah yang sama dengan yang ada di dalam rumah Nirma.

12. EXT. DEPAN RUMAH NIRMA - SIANG.

Mus mencoba menghampiri rumah Nirma, wajahnya seperti mengendus bau sesuatu yang menyengat. Di bagian belakang rumah Nirma, bilik-biliknya yang bolong menyita perhatian Mus karena baunya yang semakin menyengat dan terlihat lalat masuk ke dalam bilik yang berlobang itu.

Mata Mus mendekat semakin mendekati lobang. Namun dia terganggu oleh Eman yang melemparkan jaringnya ke tubuh Mus, sehingga Mus tampak kerepotan melepaskan jaring tersebut dan kesal melihat Eman yang mendekatkan wajahnya sambil tersenyum lebar.
Setelah berhasil melepaskan diri, Mus langsung meninggalkan rumah Nirma .

13. EXT. JEMBATAN SEMEN - SIANG.

Nirma menyembunyikan makanan di dalam bajunya yang kebesaran, berjalan terburu-buru. Ia melihat Mus sedang menyalakan radio. Mus juga menatapnya. Nirma berjalan ke arah rumahnya.

14. EXT. KAPAL MUS - SIANG.

Mus tengah menyalakan radio ketika melihat Nirma berjalan di di jembatan semen. Nirma menatapnya.

(OS) RADIO
Bulan purnama akan datang esok hari, bagi masyarakat yang tinggal di pesisir diharapkan untuk berhati-hati karena air pasang akan naik dan angin laut yang kencang bisa menyebabkan kerusakan.

15. EXT. PANTAI - SIANG.

Nirma memberikan makanan kepada Eman. Mereka berdua duduk di atas bangkai perahu yang menghadap ke laut. Eman membuat potongan-potongan terkecil dari kuenya dan baru ia makan satu persatu dengan amat hati-hati.

Nirma melihat ada beberapa karung pasir yang datang, dengan gerobak nampak pemuda bertopi SD mengangkat tumpukan karung pasir yang di susun pinggiran tanggul. Nirma memperhatikan gerobak itu dengan seksama.

16. EXT. DEPAN RUMAH NIRMA - MALAM.

Eman dan Nirma menyeret seprei yang membalut tubuh MALIK (30 tahun) yang basah dan lengket. Menaikannya ke dalam gerobak pasir, lalu mendorongnya ke arah krematorium.

17. EXT. KAPAL MUS - MALAM.

Suasana begitu gelap. Sesosok tangan merayap mematikan RADIO YANG SEBELUMNYA MENYALA.

18. EXT. KREMATORIUM - NIGHT.

Nirma membuka pintu ruangan untuk membakar mayat. Dibantu Eman, Nirma meletakkan beberapa kayu bakar. Tiba-tiba gerobak miring dan terjulurlah tangan manusia yang bengkak. Mereka berdua berusaha mengganjal gerobak yang rodanya mulai rusak ini.
Tanpa diketahui oleh mereka, Mus sudah berada di belakang dengan senter menyala. Wajahnya nampak kaget melihat sosok yang tertutup kain di atas gerobak. Ia tampak sedih.

Tiba-tiba dua orang warga pesisir muncul, membuat mereka terkejut.

19. EXT. DEPAN RUMAH NIRMA - PAGI.

Terlihat sebuah kerangka jendela yang miring tertanam di pasir, pemandangan di dalam jendela tersebut nampak kaki-kaki para pembongkar rumah satu persatu menyeret bagian rumah Nirma.

WARGA PESISIR 3 (O.S.)
Busuk?

WARGA PESISIR 1 (O.S.)
Busuk. Gue liat.

WARGA PESISIR 3 (O.S.)
Terus? Kok gue nggak denger ya? Emang udah sakit-sakitan dari lama sih ya si Malik tuh.

WARGA PESISIR 1 (O.S.)
Ya langsung kita kubur. Sama Mus juga kok. Chong juga nggak denger, bisa nggak jadi nih kalo dia sampe tau.

Nampak hanya jendela yang masih bertahan dari rumah Nirma yang sudah di bongkar. Lalu terlihat papan pemberitahuan baru di pasang oleh Mus, tertulis "dalam proses pembangunan tanggul dan tidak boleh ada yang membangun apa pun tanpa seizin pemilik".

Terlihat Nirma sedang melakukan kebiasannya di dalam rumah yang sudah tidak ada, ia menyalakan lilin yang sudah rusak terinjak, bermain dengan bonekanya yang semakin hancur di atas bambu-bambu yang ia coba rapikan lagi dengan ekspresi yang bahagia.
Mus melihat itu dengan sedih. Ia baru saja hendak menghampiri Nirma, ketika LIMA ORANG ANAKNYA YANG KECIL-KECIL MUNCUL.

ANAK MUS 1
(berteriak)
Bapak. Pulang.

Mus segera menoleh.

ANAK MUS 2
(berteriak)
Ketuban ibu pecah.

Mus langsung berlari dengan cepat ke arah mereka.

20. EXT. PANTAI - SIANG.

SESEORANG membuang sampah ke laut. Kondisi pantai sudah berubah, meski tetap kotor. Tanggul sudah mulai dibangun, terlihat SEJUMLAH PEKERJA yang beraktifitas mengaduk semen, memasang batu, dan mengangkut pasir.

Pada sebuah bangkai kapal yang catnya terkelupas, pesisir yang semakin berantakan, karung-karung pasir yang tersebar dimana-mana. Lalu TERDENGAR TAWA RIANG ANAK KECIL bermain di dalam kapal.

Sepasang kaki kecil mulai menaiki satu persatu kayu menuju tiang layar. Ternyata itu adalah Nirma yang terlihat semakin kusam dan rambutnya mulai mengeras hampir seperti gimbal, tangan kecil Nirma mencoba meraih bonekanya yang tergantung di ujung tiang bendera merah putih yang kusam.

Ada DUA ANAK KECIL hanya melihatnya dari bawah sambil mengernyitkan matanya dari matahari.

KEDUA ANAK KECIL
(bertepuk tangan)
Orang gila... Orang gila... Orang gila... Orang gila...



SELESAI
Draft 5, Maret 2009
PURNAMA DI PESISIR

TAPAL BATAS

1. INT. HUTAN – SORE.

Hujan. Terlihat beberapa kali ledakan yang menghasilkan DENTUMAN KERAS, mungkin berasal dari meriam atau mortir, di latar belakang yang dipenuhi pepohonan lebat. Selain itu terdapat pula sejumlah RENTETAN SENAPAN yang tampak berasal dari dua arah. Baru kemudian jelas, arah tembakan itu berasal dari dua orang bersenapan. Jarak mereka cukup jauh satu sama lain. Baku tembak yang terjadi diantara mereka berjalan amat sengit.

Berlari cepat menenteng senapan sambil sesekali melepas rentetan, RAHMAD, 30 tahun, anggota TNI berpangkat serda. Ia berpostur tinggi dengan bahu tegap, mengenakan pakaian perang lengkap. Rahmad tengah berhadapan dengan seseorang. JOAO, 30 tahun, serdadu fretelin bersenjata melesat ke dataran landai untuk tiarap dan bersiap melepas tembakan.

Sebelah matanya mengatup saat peluru-peluru keluar dari senapannya. Rautnya terlihat keras, dengan rambut semrawut dan kulit berwarna gelap. Tembakan yang dilepaskannya dibalas dengan segera dan hampir mengenainya. Itu membuatnya bangkit dan menjauh, sementara dari arah belakangnya peluru-peluru lain terus mengejarnya.

Baku tembak antara Rahmad dan Joao terus berlangsung. Rahmad bertambah cepat mengejar Joao yang berupaya lari. Joao harus sembunyi dibalik pohon maupun gundukan tanah demi agar tubuhnya tidak tertembus peluru Rahmad. Itu memaksanya untuk balas menembaki Rahmad yang semakin mendekat dan tidak juga berhenti memuntahkan peluru dari senapannya. Satu peluru hampir mengenai Rahmad, ia BERTERIAK, sambil melompat dan bersembunyi di balik sebatang pohon yang disekitarnya lebat oleh semak.

Mendengar teriakan Rahmad tadi, Joao terdiam dan sejenak menatap ke arah semak. Wajahnya nampak bersemangat, kemudian dengan perlahan Joao bergerak ke samping beberapa langkah sebelum maju mendekati semak itu. Agak terengah-engah Rahmad menunggu sambil memastikan posisi senapannya sementara LANGKAH KAKI JOAO TAMBAH DEKAT.

Rahmad segera berdiri dan menembak, Joao kaget dan refleks membalasnya. Saling tembak kembali berlangsung seru. Masing-masing mencoba melumpuhkan satu sama lain, tapi peluru mereka tidak ada yang mengenai sasaran. Senapan Joao tidak lagi memuntahkan peluru, ia tampak gelagapan, kemudian melarikan diri dengan cepat.

2. EXT. HUTAN – SORE.

Rahmad segera mengejarnya dengan peluru yang terus meluncur. Joao melaju dengan kecepatan tinggi menuruni lembah kecil yang terlihat berupa kubangan berlumpur. Ia bergerak menyeberanginya, sedangkan Rahmad seolah tidak akan melepasnya dan terus menembak. Rahmad baru saja tiba di tepi lembah itu ketika kaki kanannya menginjak ranjau.

Wajah Rahmad tampak ketakutan saat menyadari itu, ia pun hanya bisa terpaku. Bahkan tidak mengetahui kalau Joao tengah bersembunyi setelah menoleh ke belakang dan dilihatnya Rahmad tengah menatap kakinya sendiri. Hujan berhenti, dan sepi.

Beberapa lamanya mereka berdiam diri. Rahmad dengan wajah pasrah sesekali melepaskan tembakan ke arah yang tidak jelas sambil memperhatikan sekeliling, sedangkan Joao terlihat penasaran dengan apa yang sedang dialami oleh Rahmad tapi masih terlalu takut untuk menampakkan diri. Untuk waktu yang cukup lama sekali tidak ada sesuatu pun yang mereka lakukan.

Sampai kemudian Joao mengeluarkan kepalanya dari balik pohon dan Rahmad yang melihatnya segera menembak meski luput. Wajah Joao terlihat senang sebelum berlari ke pohon lain. Rahmad memuntahkan pelurunya lagi tanpa bergeser sejengkal pun. Ini pun luput, membuat Joao segera bangkit. Sontak Rahmad kembali menembak. Rentetannya nyaris mengenai Joao, tapi ia selalu bisa menghindar dengan beralih dari balik pohon satu ke pohon lain lalu bersembunyi.

JOAO
(teriak)
Ayo kejar. Jangan berdiri saja.

Joao bergerak ke arah samping, sementara Rahmad tetap menembakinya meski sesekali karena tampak takut melakukan gerakan yang membahayakan nyawanya.

JOAO
Bukannya tadi kamu ingin membunuh
saya?

Tembakan Rahmad kembali luput, Joao bersandar di balik gundukan tanah tinggi. Nafasnya terengah-engah.

JOAO
Meleset terus? Kamu ini tentara atau
petani?

Wajah Rahmad tampak kesal, ia memberondong ke arah Joao yang bersembunyi tapi hanya mengenai gundukan tanah itu. Sejenak Rahmad mengistirahatkan senapannya, dan kesempatan itu digunakan oleh Joao untuk berlari. Terlihat Joao terus saja bergerak ke arah samping sampai tiba tepat di belakang Rahmad, sedang Rahmad tetap mengikuti pergerakan Joao, namun hanya senapan dan bagian atas tubuhnya saja sementara posisi kakinya sama sekali tidak bergerak.

Rahmad kesal, dengan memutar tubuh bagian atasnya, ia berusaha terus memuntahkan peluru dari senapannya ke arah Joao yang selalu bisa menghindar hingga membuatnya makin bernafsu menembak. Sampai kemudian peluru dalam senapan Rahmad habis. Joao pun baru berani menampakkan dirinya dan perlahan mendekati Rahmad dengan mengacungkan senapannya lalu berhenti di jarak yang dianggapnya aman untuk ledakan ranjau. Wajah Rahmad terlihat pasrah, jelas ada percampuran antara takut dan marah.

JOAO
Kalau pipi kananmu ditampar, berikanlah
pipi kirimu. Saya sudah melakukan itu,
tapi kamu malah menyia-nyiakannya.

RAHMAD
(marah)
Bunuh saja saya.

Joao menurunkan senapannya.

JOAO
Saya tidak punya peluru lagi. Biar
ranjau itu yang melakukannya.

Joao baru saja duduk ketika tiba-tiba Rahmad meraih HTnya. Dengan gerakan cepat Joao membuat HT itu terjatuh ke tanah yang berair dengan satu timpukan ke tangan Rahmad. Wajah kedua orang itu terlihat tegang, Joao menginjaknya berkali-kali sampai hancur.

JOAO
Berteriaklah sekerasnya. Ternyata kamu
takut mati. Saya akan menemani kamu.
Mungkin saya bisa membacakan doa untukmu.

Rahmad tampak pasrah, seluruh tubuhnya melemas. Dari matanya memancarkan keputusasaan dari kenyataan bahwa hidupnya segera berakhir. Joao telah duduk meluruskan kakinya dan bersiap rebah.

JOAO
Saya lelah, berbulan-bulan dihutan
menghadapi kalian.
(memejamkan mata)
Bangunkan saya kalau keberanian kamu
kembali. Saya mau lihat tubuh kamu
hancur berkeping-keping.

Rahmad hanya bisa terdiam dengan wajah sedih. Dilihatnya langit dan hutan serta menghirup nafas dalam-dalam untuk waktu yang cukup lama, sebagai upaya untuk melenyapkan rasa putus asanya. Sambil sesekali memperhatikan Joao yang kerap mengibaskan tangannya guna mengusir serangga-serangga kecil yang mengganggu tidurnya.

Setelah berlangsung beberapa saat, karena tidak juga bisa lelap oleh serangga, Joao pun bangkit dengan wajah kesal. Ia melihat langit yang mulai merah sebelum menatap Rahmad dengan sesuatu yang dipikirkannya.

JOAO
(marah)
Pengecut.

Joao mengambil sebuah batu lalu menimpuk tubuh Rahmad dengan keras. Batu itu mengenai perut Rahmad yang berusaha untuk menahan suaranya meski dari wajahnya bisa dilihat sakit yang ia rasa. Melihat Rahmad tidak juga bergerak, Joao mengulanginya lagi.

JOAO
Apa yang kamu tunggu?

Rahmad masih tidak bergerak dengan mulut tertutup menahan sakit.

JOA0
Tidak ada yang bisa menolongmu.

Joao bertambah kesal dengan kembali menimpuki Rahmad beberapa kali ke bagian tubuh yang berbeda-beda.

JOAO
Sekarang atau nanti sama saja. Kamu
pasti tahu ranjau jenis apa itu.

Rahmad terlihat kesakitan dengan memegangi bagian tubuhnya yang terkena batu. Joao seperti memberi waktu kepada Rahmad dengan terus saja menatapnya. Ia bergerak mengambil sebatang ranting panjang dan menggunakan itu untuk mendorong tubuh Rahmad.

JOAO
Berani datang kesini tapi tidak siap
mati.

Namun Rahmad mencoba bertahan dengan menggeser kaki kirinya ke belakang, sementara kaki kanannya tidak bergerak. Ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya Joao berhenti. Hari berangsur gelap.

JOAO
Percuma. Mungkin saya memang tidak
bisa melihat kamu meledak.

Joao berjalan melewati Rahmad dan pergi. Rahmad terlihat sedih dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat kepergian Joao. Sementara itu matahari telah tidak nampak.

RAHMAD
(teriak)
Hei.

Joao menoleh. Terlihat olehnya Rahmad tidak lagi menggigil, ia pun berbalik.

RAHMAD
Ambilkan ransum di tas saya ini.
saya lapar.

JOAO
Berusahalah sendiri.

Joao melanjutkan perjalanannya. Rahmad tampak berpikir sejenak.

RAHMAD
Setelah itu saya akan melakukannya.

Joao menoleh lagi, ia terlihat menimbang-nimbang beberapa saat sebelum akhirnya berjalan ke arah Rahmad. Sampai disana Joao membuka tas Rahmad dan mengeluarkan ransum dari dalamnya. Saat akan menyerahkannya, Rahmad langsung memeluk tubuh Joao. Kini tubuh mereka menempel. Rahmad tampak senang, sedangkan Joao terlihat menyesal.

RAHMAD
Kita mati bersama.

3. EXT. HUTAN – MALAM.

Gelap. Rahmad masih memeluk tubuh Joao.

RAHMAD
Jao

JOAO
Joao

RAHMAD
Jao

JOAO
Joao. J-O-A-O. Joao.

RAHMAD
Oh, Joao.

JOAO
Ya, Joao.

RAHMAD
Joao.

JOAO
Apa pangkat kamu?

RAHMAD
Serda.

RAHMAD
Serda Rahmad.

Mereka diam untuk beberapa saat. Sesekali Joao bergerak-gerak.

RAHMAD
Terus saja bergerak-gerak. Kamu akan
membuat kita mati.

JOAO
Maaf. Sudah malam begini apa bakal
ada yang lewat?

RAHMAD
Siapa suruh merusak HT itu? Sekarang
kamu menyesal.

JOAO
Kalau tidak saya rusak kamu akan
memanggil bantuan dan saya pasti
terancam.

RAHMAD
Tapi kalau itu tidak kamu lakukan
pasti kita sudah tertolong. Kamu
tidak berpikir panjang.

JOAO
Memang kamu tahu kita akan mengalami
ini?

RAHMAD
Setidaknya kita masih punya HT.

JOAO
Masih saja berharap.

RAHMAD
Bohong kalau kamu tidak berharap
ada yang akan menyelamatkan kamu.

JOAO
Saya siap mati.

RAHMAD
Tidak mungkin.

JOAO
Terserah.

RAHMAD
Dasar orang hutan.

JOAO
Apa?

RAHMAD
Tidak.

JOAO
Kamu bilang apa tadi?

RAHMAD
Saya tidak bilang apa-apa.

JOAO
Kamu bilang saya orang hutan.

RAHMAD
Tidak.

JOAO
Dasar pengecut.

RAHMAD
Memang saya pengecut.

JOAO
Mengaku juga kamu akhirnya.

Mereka kembali terdiam untuk waktu yang lama. Sesekali menggigil karena kedinginan. Tampak Rahmad yang matanya terkadang terpejam tapi kembali berusaha membukanya lagi, ia terlihat mengantuk. Joao mengetahui itu, dan dari wajahnya tampak ia memikirkan sesuatu. Sekali lagi mata Rahmad terpejam, dan kembali ia berupaya membukanya.

RAHMAD
Sudah berapa lama kamu di hutan ini?

JOAO
Sejak kedatangan kalian. Hampir satu
tahun.

RAHMAD
Keluarga kamu?

JOAO
Mana ada orang perang ngajak keluarga?

RAHMAD
Maksud saya apa kamu punya keluarga?

JOAO
Punya. Mereka terpaksa saya tinggal,
demi menghadapi kalian.

RAHMAD
Siapa yang memaksa kamu?

JOAO
Tidak ada.

RAHMAD
Tadi katanya kamu terpaksa.

JOAO
Saya harus berjuang demi tanah ini
agar merdeka.

RAHMAD
Merdeka dari apa?

JOAO
Dari jajahan kalian.

RAHMAD
Kita sama-sama orang Indonesia kan?

JOAO
Kalian yang Indonesia. Kami bukan,
kami orang Lorosae.

RAHMAD
Sejak tadi kamu selalu membeda-bedakan.

JOAO
Kamu tidak lihat? Kita memang beda.

RAHMAD
Tapi kita satu bangsa.

JOAO
Bukan. Kita beda.

RAHMAD
Rupanya itu yang membuat saya harus
datang berperang ke sini, Cuma karena
kalian merasa berbeda.

JOAO
Bukan itu saja.

RAHMAD
Lalu?

JOAO
Kalian pilih kasih. Kami disini
seperti anak tiri. Malah seperti
jajahan. Kekayaan kami diambil
terus, tanpa peduli kesejahteraan.
Diperlakukan seperti itu mana ada
yang mau?

RAHMAD
Jadi jelas sekarang. Itu alasan kamu,
sedangkan saya, menjaga keutuhan NKRI
adalah tugas tentara. perang ini
memang wajar.

JOAO
Tidak ada yang aneh. Kami ingin merdeka,
kalian menghalanginya. Selesai.

Mereka kembali terdiam untuk waktu yang lama. Beberapa kali Rahmad terpejam sesaat, Joao terus memperhatikannya. Ia seperti bersiap melakukan sesuatu. Sampai akhirnya Rahmad tertidur, Joao berhasil melepaskan diri. Rahmad terbangun dengan kaget. Dilihatnya Joao lari ke belakang.

JOAO
(teriak)
Merdeka.

RAHMAD
(teriak)
Joao.

Joao terus saja berlari sampai ia tidak bisa melihatnya lagi.

RAHMAD
Joao.

TERDENGAR SUARA ORANG TERJATUH. Rahmad tampak sedih. Ia jadi sendirian.

RAHMAD
Joao. Joao. Joao.

Tidak ada jawaban sama sekali. Rahmad terlihat sudah menyerah. Ia terdiam dengan menundukkan kepala. Wajahnya memelas, tubuhnya menggigil.

4. EXT. HUTAN – PAGI.

Matahari sudah muncul. Hutan jadi terang. Dan pagi pun BERSUARA. Rahmad nampak terkantuk-kantuk sambil berdiri. Ia terus berupaya terjaga sejak malam. Matanya memerah karena belum tidur. Ia baru selesai buang air kecil dan tengah menaikkan resleting celananya. Digerakkannya leher ke kanan dan ke kiri, sebuah senam kecil. Lalu memutar tubuh bagian atasnya ke belakang.

Saat itulah ia melihat Joao menelungkup. Karena tidak yakin, Rahmad mencoba memperjelas pandangannya dengan mengucek kedua matanya. Dan ia mendapati hal yang sama, Joao menelungkup jauh dibelakangnya. Tampak di kedua pipi Joao kotor oleh lumpur. Posisi mereka berjauhan dan tidak saling berhadapan.

RAHMAD
(teriak)
Mampus lah kamu. Itu namanya senjata
makan tuan.

JOAO
Bukan kami yang memasang ranjau ini.

RAHMAD
Lalu siapa? Apa bisa tumbuh sendiri?

JOAO
Pasti kalian.

RAHMAD
Kalau tahu ada ranjau, saya tidak
akan berani mengejar kamu sampai
sini kemarin. Jadi pasti kalian.

JOAO
Asal kamu tahu, tempat ini jarang
didatangi. Sama sekali tidak pernah
terpikir untuk baku tembak ditempat
ini. bukan kami, berarti kalian.

RAHMAD
Apalagi kami, hutan ini kan kandang
kalian. Yang pasti antara kami atau
kalian.

JOAO
Pasti. Kalau tidak kalian, ya kami.
Tapi siapa?

RAHMAD
Tidak tahu. Saya yakin kalian.

JOAO
Tidak mungkin. Pasti kalian.

Mereka terdiam untuk waktu yang lama. Sangat sedikit gerakan yang bisa mereka lakukan. Rahmad yang terkantuk-kantuk hanya dapat menggerakkan bagian atas tubuhnya sementara ia terlihat lelah berdiri. Sedangkan Joao yang menelungkup Cuma bisa menekuk lututnya, selain itu ia hanya bisa menggerakkan lehernya ke arah kanan dan kiri untuk ditempelkan ke tanah. Kalau sudah lama ke kiri, maka ia akan memindahkannya ke kanan.

RAHMAD
Kamu enak bisa tidur.

JOAO
Tapi tidak bisa kencing seperti kamu.
Lihat ini, celana saya basah. Kamu iri?

RAHMAD
Tidak. Untung tentara, berdiri dan
tidak tidur selama apapun saya kuat.

JOAO
Akhirnya kamu bisa bersyukur juga.

Rahmad menunduk guna meraih ransumnya yang semalam terjatuh. Dibukanya dan mulai makan. Joao memperhatikannya. Lalu ikut memakan bekalnya.

JOAO
Kamu mau daging?

RAHMAD
Boleh.

JOAO
Tangkap. Saya tidak akan memberikannya
lagi.

Joao melepas daging bekalnya dan melempar ke arah Rahmad yang siap menangkap. Daging itu terbang, tapi Rahmad tidak bisa menangkapnya dan daging itu jatuh jauh dari kakinya.

JOAO
Saya selalu menepati janji.

Rahmad terlihat sedih. Ia hanya bisa memakan bekalnya dengan tidak berselera sambil melihat Joao yang makan dengan lahap. Sesekali Joao melihat Rahmad yang malas menelan, ia pun melepas satu potong daging lagi.

JOAO
Bekal kita tinggal sedikit. Kamu
jangan membuangnya.

Rahmad kembali bersiap menangkap. Joao melempar daging itu, kali ini Rahmad berhasil menangkapnya.

RAHMAD
Apa bahasa tetumnya terima kasih?

JOAO
Obrigado.

RAHMAD
Obrigado, Joao.

JOAO
Sama-sama.

RAHMAD
Apa itu?

JOAO
Sama-sama.

RAHMAD
Oh.

Mereka kembali makan. Sesekali terlempar senyum diantara mereka. Kali ini Rahmad tampak makan dengan lahap.

RAHMAD
Apa kenyang Cuma makan daging?

JOAO
Tidak. Tapi mau apa lagi? Cuma ini
yang saya bawa.

Rahmad menghentikan makannya.

RAHMAD
Tangkap. Saya sudah kenyang.

Rahmad bersiap melempar ransumnya ke arah Joao yang terlihat mengulurkan tangan.

JOAO
Tutup dulu, nanti tumpah.

RAHMAD
Oiya.

Rahmad menutup ransumnya terlebih dahulu sebelum melemparnya ke arah Joao. Ransum itu jatuh tepat di depan wajah Joao. Ia segera membukanya.

JOAO
Mau lagi?

RAHMAD
Buat nanti saja. Tinggal dikit kan?

Joao mulai makan isi ransum pemberian Rahmad dengan daging bekalnya.

JOAO
Tidak enak.

RAHMAD
Mana ada bekal tentara enak?

Mereka TERTAWA. Joao makan dengan lahap sampai isi dalam ransum itu habis. Untuk beberapa saat kedua orang itu terdiam. Saling melakukan gerakan terbatas untuk menghilangkan pegal. Wajah mereka tampak bosan.

RAHMAD
Kamu pernah dengar cerita tentang
perjalanan seorang prajurit TNI dengan
dua anak kecil Timor ke perbatasan Dili?

JOAO
Sepertinya Belum. Coba ceritakan.

RAHMAD
Saya dengar dari beberapa orang yang
menceritakan sebagian, kebanyakan
tidak jelas. Jadi saya yang merangkainya
sendiri.

JOAO
Tak apa.

RAHMAD
Sekitar tahun 70an. Waktu Timor belum
jadi bagian dari Indonesia. Ada seorang
prajurit TNI berpangkat kopral, namanya
Mochtar. Ketika bergerilya di hutan, ia
ditangkap oleh fretilin. Selama hampir
satu tahun disekap, ia selalu mendapat
penyiksaan sampai gigi depannya hancur.
Satu ketika Mochtar berhasil lari.
Dengan tangan terikat ia berusaha
menghindari kejaran beberapa fretilin
yang berusaha membunuhnya. Tapi tembakan-
tembakan itu tidak pernah mengenainya.
Mochtar berlari terus dengan ketakutan,
naluri bertahan hidupnya membuat ia
secapat kijang. Naik turun gundukan atau berlindung di balik pohon, nafasnya
tersengal. Ia melihat fretelin yang
mengejarnya makin dekat, Mochtar pun
berlari menuju ke dataran tinggi di
depannya. Tapi ia tidak mengetahui
kalau itu adalah mulut jurang. Maka
tubuhnya jatuh berguling ke sungai.
Fretelin yang mengejarnya terus melepas
tembakan ke jurang. Sampai mereka yakin
Mochtar sudah mati. Kamu yakin belum dengar cerita ini?

JOAO
Belum. Teruskan.

RAHMAD
Begitu terbangun, dengan kepala perih,
didepannya sudah berdiri dua anak kecil.
Kakak beradik itu bernama Lope dan Beto.
Lope perempuan, mungkin 15 tahun,
mengacungkan senapan. Sedangkan Beto
laki-laki, ia menghunus pisau. Tahu
Mochtar orang Indonesia, Beto berusaha membunuhnya, namun dilarang oleh Lope
yang bisu dengan isyaratnya. Mochtar
mengaku sebagai pedagang, tapi Beto
sama sekali tidak percaya kepadanya.
Ia diperlakukan seperti tawanan oleh
kedua anak itu, memberi makan atau
minum dengan cara dilempar ke tanah.
Tangan Mochtar pun masih terikat.

JOAO
Kedua anak kecil itu kenapa tinggal
dihutan?

RAHMAD
Jangan dipotong dulu. Nanti saya lupa.

JOAO
Maaf.

RAHMAD
Mochtar meminta mereka untuk diantarkan
ke Dili. Tentu Beto menolak karena takut
dan tidak percaya kepadanya, tapi Lope
tampak senang mendengar kata Dili. Beto
tetap tidak mau meninggalkan hutan itu,
sedangkan Lope karena mendengar janji
Mochtar yang akan melakukan apapun
setelah ia diantarkan ke Dili, tetap
bersikeras. Perempuan bisu itu pun
tertidur dengan memeluk senapannya,
sementara Beto terus mengawasi Mochtar
dengan tatapan tajam sambil memainkan
pisaunya. Pagi harinya Lope dan Mochtar
siap untuk berangkat, sedangkan Beto masih
tetap tidak mau ikut mereka. Mochtar
berharap agar Beto mau ikut dengan mereka,
karena tidak tega meninggalkan seorang
anak kecil sendirian di hutan. Lope pun mengacungkan senapannya ke arah Mochtar
sebagai tanda untuk menyuruhnya mulai
melangkah. Dengan lemas Mochtar menurut
saja. Setelah agak jauh Beto berteriak,
‘dia pasti sudah mati, kak’. Tapi Lope
tidak mengindahkannya.

JOAO
Dia siapa?

RAHMAD
Sabar. Mau dilanjutin nggak?

JOAO
Mau. Mau.

RAHMAD
Waktu Lope dan Mochtar berjalan, mereka
mendengar ada suara yang mengikuti. Lope membiarkannya dan menekan ujung senapan
ke tubuh Mochtar untuk tetap berjalan.
Sampai ketika suara itu mendekat, Lope
menyuruh Mochtar bersembunyi. Lama mereka menunggu sampai orang yang mengejarnya
itu dekat, dan begitu mereka bangkit,
ternyata Beto yang mengikuti mereka.

JOAO
Saya sudah menebak.

RAHMAD
Cerewet. Udah ah.

JOAO
Maaf. Maaf. Saya nggak ngomong lagi deh.
Tolong lanjutkan.

RAHMAD
Kalau ngomong lagi, saya janji nggak
mau nerusin cerita ini.

JOAO
Iya.

RAHMAD
Sekarang mereka bertiga. Mochtar dengan
tangan terikat berjalan di depan,
dibelakangnya Beto dan Lope yang
mengacungkan senapan. Melihat ada pohon
besar tumbang, Beto senang dan langsung
berlari melompati. Ia berhasil, Lope dan
Mochtar tertawa. Tapi Beto berterik,
mereka kaget dan berlari menghampirinya.
Kaki Beto berdarah tertusuk jebakan
binatang, ia pun menangis sekerasnya.
Lope sudah berusaha melepaskan jebakan
binatang itu, tapi ia tidak cukup kuat. Diambilnya pisau Beto untuk memutuskan
tali ikatan tangan Mochtar. Oleh Mochtar
jebakan itu berhasil lepas. Dengan
menggendong Beto yang menangis di
punggungnya, mereka berlari dengan cepat
untuk mencari daun obat. Sampai di pinggir sungai, Lope mengobati kaki Beto sementara Mochtar membuat api. Selama itu Beto terus
saja memperhatikan Mochtar dengan pandangan curiga, itu membuat Mochtar merasa tidak
nyaman. Tidak lama kemudian mereka beranjak
tidur dengan posisi yang terpisah antara
Mochtar dengan Lope dan Beto dengan api yang
jadi pemisah mereka. Dalam tidurnya Beto dan Mochtar bermimpi. Saat ia masih kecil, ketika bermain dengan Lope tidak jauh dari rumahnya, sepasukan tentara datang menyerbu desa. Ibunya terbunuh dan ayahnya ditawan. Sejak itu Lope tidak bisa bicara dan mereka berdua tinggal
di hutan. Mochtar bermimpi ketika ia bersama pasukannya menyerang sebuah desa. Ia tidak sengaja menembak seorang anak kecil. Dengan
penuh penyesalan terus ditatapnya rumah dimana
ia menembak anak kecil itu saat desa itu dibumihanguskan. Pagi harinya, Mochtar
terbangun dengan ujung senapan di depan
matanya. Beto berdiri dan mengancam agar
Mochtar mengaku kalau ia adalah TNI. Mochtar
pun jujur. Beto baru ingin menembaknya ketika dengan tiba-tiba Lope menghalanginya. Beto
pun berusaha meyakinkan Lope kalau ayah
mereka pasti telah mati setelah lama ditawan. Namun Lope bersikeras dan menarik tangan
Mochtar untuk membawanya pergi. Beto terpaksa mengikutinya dan terjatuh karena kakinya sakit. Dengan cepat Lope menghampirinya dan mengelus kaki itu sampai tangis Beto terhenti. Mochtar terkesan melihat kelakuan kakak beradik itu,
ia seperti teringat akan sesuatu. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Karena lapar Mochtar
dan Beto menangkap ayam hutan, sementara Lope mengumpulkan kayu bakar. Tapi tiba-tiba ada rentetan tembakan ke arah mereka, ternyata fretilin masih mengejar Mochtar. Ayam pun terlepas dan Mochtar dengan cepat membawa
kedua anak itu untuk lari dan bersembunyi di balik gundukan tanah. Lope mengerang, tangannya berdarah terserempet peluru. Beto bangkit dan mengarahkan senapan kepada Mochtar dengan
berkata dialah penyebab semua ini. satu
tembakan hampir mengenai Beto, Mochtar merebut senapan dari tangan Beto dan balas menembak ke arah Fretilin. Ketika sudah tidak ada lagi tembakan ke arah mereka, Mochtar kembali
membawa kedua anak itu berlari. sekarang tidak ada lagi jarak antara mereka, ketiga orang itu berlari serempak. Mochtar menggendong Beto dan menarik tangan Lope. Tampak kalau dua anak
kecil itu amat perlu perlindungan dari orang dewasa macam Mochtar. Bahkan saat tidur pun mereka saling berpelukan. Mochtar siap dengan segala ancaman yang datang demi melindungi dua anak itu. Ketika kembali melanjutkan perjalan, Beto lagi-lagi meminta Lope untuk kembali
karena perbatasan Dili sudah dekat dan ia
masih yakin kalau ayahnya telah mati. Dengan lembut Mochtar berkata kalau tentara tidak
akan membunuh tawanan dan dia berjanji akan mempertemukan mereka dengannya. Beto bingung,
ada sesuatu yang membuatnya enggan ke Dili tapi ia tidak bisa tinggal sendiri di hutan. Ia
terus menatap kepada Lope, tapi tidak bisa mengambil keputusan.

Rahmad terdiam untuk beberapa saat. Joao tampak menunggu dengan tidak sabar.

JOAO
Terus?

RAHMAD
Cuma itu yang saya tahu.

JOAO
Jadi mereka berhasil sampai ke Dili?
Bertemu dengan ayah mereka?

RAHMAD
Mungkin. Tapi bisa saja fretilin yang
mengejarnya tadi berhasil membunuh
Mochtar sebelum mereka berhasil sampai
Dili.

JOAO
Semoga itu tidak terjadi. Kedua anak itu
pasti sudah dewasa sekarang dan Mochtar
terus naik pangkat.

RAHMAD
Atau mereka semua mati.

JOAO
Ya. Antara berhasil atau tidak. Kalau
berhasil mereka masih ada, kalau tidak
ya pasti sudah mati.

Mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama dan tidak terasa matahari telah berada di atas kepala. Tidak ada percakapan lagi diantara mereka untuk waktu lama. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang pegal. Joao melepaskan daging bekalnya yang tinggal dua potong.

JOAO
(teriak)
Rahmad.

Rahmad menoleh. Dilihatnya Joao yang bersiap melempar sepotong daging untuknya.

RAHMAD
Terakhir.

Joao melempar ke arah Rahmad yang berhasil menangkapnya. Mereka memakan daging itu bersamaan. Kemudian sunyi lagi. Mereka kembali berdiam diri untuk waktu yang lama.

JOAO
Kita sudah pasti mati. Ranjau ini tidak
bisa dimatikan. Untuk apa kita diam terus
disini.

RAHMAD
Saya masih mau menunggu. Barangkali ada
yang bisa menolong. Siapa yang tahu?

JOAO
(teriak keras)
Tolong. Tolong.

Rahmad diam saja. Joao memperhatikan Rahmad yang dia pikir akan melakukan hal yang sama tetapi tidak.

JOAO
Kamu tidak berusaha, bagaimana orang tahu
kita ada disini?

RAHMAD
Percuma berteriak kalau tidak ada yang
dengar.

JOAO
Berarti percuma juga menunggu kalau ranjau
ini pasti meledak.

Mereka kembali berdiam untuk waktu yang lama. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang tegang.

RAHMAD
Sebenarnya waktu kecil saya tidak ingin
jadi tentara. Tapi begitu besar, tidak
tahu kenapa, ini yang saya pilih.

JOAO
Memang mau jadi apa?

RAHMAD
Pemain film.

Joao TERTAWA. Rahmad menatapnya dengan sedikit tersinggung.

RAHMAD
Kamu?

JOAO
Saya? Tidak mau jadi apa-apa. Asal bisa
makan, punya istri dan anak. Itu saja.
Sekolah saja tidak.

Kedua orang itu kembali berdiam diri. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang tegang.

JOAO
Setelah meledak, ada yang akan menemukan
dan mengumpulkan tubuh kita tidak ya?

RAHMAD
Semoga saja.

JOAO
Duarrr. Tangan disana.
(menunjuk sebuah arah)
Kaki disana.
(menunjuk sebuah arah)
Kepala disana.
(menunjuk sebuah arah)
Hahaha. Paling jadi makanan binatang.

Joao masih tertawa, sedangkan Rahmad tidak. Ia malah sedih. Perlahan TAWA JOAO BERHENTI.

RAHMAD
Yang paling saya sesalkan adalah
meninggalkan pacar saya setelah
memerewaninya. Saya janji setelah
pulang dari sini akan menikahinya.

JOAO
Jadi belum menikah, sudah...?

RAHMAD
Ya.

JOAO
Enak dong?

Mendengar pertanyaan itu wajah Rahmad tambah sedih. Penyesalan makin jelas dimatanya. Sangat lama mereka terdiam. Kedua orang mulai mengantuk, terlebih Rahmad yang memang sejak tadi sudah merasakannya. Rahmad tampak berpikir memandangi Joao yang mulai memejamkan mata.

RAHMAD
Main yuk?

JOAO
Main apa?

RAHMAD
Apa kek, biar saya tidak tidur.
Suit misalnya.

JOAO
Saya ngantuk. Kamu saja main sendiri.
Maaf tidak bisa menemani.

Rahmad terlihat kecewa. Sementara Joao terpejam, Rahmad bermain sendiri. Ia menggunakan kedua tangannya untuk suit. Tapi baru saja sebentar, ia segera sadar kalau yang dilakukannya itu konyol. Ia pun langsung berhenti.
Joao tengah tertidur ketika pipinya kejatuhan sesuatu. Ia membuka mata dan memeriksa yang jatuh itu dan mendapati kotoran burung disana. Ia tampak kesal. Sedangkan Rahmad terlihat sedang mengibas-ngibaskan tangannya guna mengusir kumbang besar berwarna hitam yang terbang di sekitar kepalanya. Tapi kumbang itu tidak juga pergi. Mereka tampak putus asa.

RAHMAD
Ayo kita melakukannya sekarang.

JOAO
Ayo. Tapi bareng.

RAHMAD
Ya. Kamu yang menghitung.

JOAO
Jangan bohong.

RAHMAD
Percayalah. Jangan-jangan malah kamu
yang berbohong.

JOAO
Saya janji. Siap?

RAHMAD
Ya.

JOAO
Tiga. Dua. Tunggu, tunggu.

RAHMAD
Apa lagi?

JOAO
Kamu sudah berdoa?

RAHMAD
Dari kemarin.

JOAO
Saya berdoa dulu.

RAHMAD
Jangan lama-lama.

Joao tampak memejamkan mata dan mulutnya bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian ia tampak siap. Mereka terlihat kuat.

JOAO
Tiga. Dua. Satu.

Tapi tidak ada yang bergerak sama sekali.

JOAO
Kamu bohong kan?

RAHMAD
Kamu juga. Tidak jadi ah.

JOAO
Saya juga kalau begitu.

Kedua orang itu masih pada posisi masing-masing. Lama mereka berdiam diri. Kebosanan, putus asa, sedih, penyesalan, harapan, dan kepasrahan bercampur di wajah mereka.

JOAO
Kita masih mau menunggu?

RAHMAD
Ya.



Selesai.

KABAR GEMBIRA

1. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

NAZARUDIN (50 tahun) mengemudikan mobilnya sambil minum dari termos kecil. Wajahnya terlihat menahan rasa pahit. Kebanyakan rambutnya putih dan agak panjang sampai nyaris menutupi telinga. Ia mengenakan seragam terbuat dari kemeja dengan emblem yang menyatakannya sebagai pengantar jenazah sebuah rumah sakit. Ia kemudian menayalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Wajahnya tampak tenang.

Di dashboardnya tertempel foto perempuan berusia sekitar 20 tahun yang cukup manis. Juga terdapat alat komunikasi berupa radio panggil yang menyatu dengan dashboard.

Tampak dari kaca depan kalau Nazarudin tengah melewati sebuah gang dengan deretan rumah tak teratur di kedua sisinya. Saking kecilnya, gang itu hanya cukup untuk satu mobil. SEORANG TETANGGA (60 tahun), lelaki yang sedang duduk menyeruput kopi di teras rumah mengangkat tangannya. Nazarudin balas mengangkat tangannya pada tetangganya itu.

Beberapa meter di depan datang ke arahnya sebuah motor pos dengan karung surat di kedua sisi belakangnya. Nazarudin menekan KLAKSON BEBERAPA KALI.

2. EXT. GANG – PAGI.

Sebuah mobil jenazah terus berjalan pelan, membuat motor pos itu berhenti dan terpaksa ke pinggir untuk memberi jalan pada mobil itu. Nazarudin dan TUKANG POS (25 tahun) saling menatap. Tapi karena jalan terlalu sempit, karung sebelah kanan motor pos itu sedikit terserempet dan kalau tidak karena Tukang Pos itu segera menopang dengan kakinya, ia bisa terjatuh.

Dengan wajah kesal tukang pos itu hanya bisa menatap ke arah mobil jenazah yang berjalan keluar gang.

3. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

Nazarudin memutar kemudi ke kiri dan membawa mobilnya ke jalan yang lebih besar dan tampak ramai oleh kendaraan. Dari spion kanan dilihatnya Tukang Pos tadi mengacungkan jari telunjuk dan berusaha mendahuluinya. Membuat Nazarudin makin dalam menekan pedal gasnya. Terjadilah kejar mengejar untuk beberapa saat. Namun Nazarudin segera menepikan mobilnya saat dilihatnya Tukang Pos itu melambaikan selembar surat.

4. EXT. PINGGIR JALAN – PAGI.

Tukang Pos memarkir motornya di depan mobil jenazah. Lalu turun dan mengulurkan selembar surat.

TUKANG POS
Bapak Nazarudin? Sulit sekali
menemukan rumah bapak.

NAZARUDIN
Ya, saya. Apa ini?

Nazarudin menerima surat itu dan membaca alamat pengirimnya yang berasal dari Lampung. Setelah membuka amplop, dibacanya surat itu sementara Tukang Pos masih merapikan karungnya. Tampak pada wajah Nazarudin keceriaan yang sangat tatkala sampai pada akhir surat. Nazarudin turun lalu menyalami dan memeluk Tukang Pos.

NAZARUDIN
(riang)
Terima kasih de’!

Tukang pos memberikan lagi beberapa amlop surat yang sudah dikareti.
NAZARUDIN
Ini apa lagi?

TUKANG POS
Surat-surat untuk bapak yang
lain. Yang belum sampai.
Saya sudah beberapa hari
mencari alamat bapak, tapi
tidak ketemu. Hari ini pun
sampai harus mengejar bapak.

Sekali lagi Nazarudin memeluk Tukang Pos dan menepuk-nepuk pundaknya sebelum kembali ke kemudi. Tukang Pos itu hanya bisa ternganga menyaksikan mobil yang dikendarai Nazarudin bergerak cepat dengan SIRINE MERAUNG.



5. EXT. BEBERAPA RUAS JALAN JAKARTA – PAGI.

Mobil jenazah yang dikemudikan Nazarudin bergerak cepat. Sesekali ia membuka surat-surat lain di antrian tengah lampu lalu lintas.

6. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

SIRINE MENYALA. Nazarudin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dipandanginya terus dengan senyum lebar foto perempuan yang tertempel di dashboard dan tampak telah lama berada disana. Dari kaca depan terlihat beberapa kendaraan yang disalipnya. RADIO PANGGILNYA BERSUARA.

SEORANG PRIA (O.S.)
Pusat, pusat. Dipercepat.
Tugas menanti.

TERDENGAR SUARA TIDAK JELAS DARI RADIO PANGGIL. Nazarudin memukul radio panggilnya beberapa kali.

NAZARUDIN
Nggak ada yang laen?

SEORANG PRIA (O.S.)
Abis.

NAZARUDIN
Banyak banget. Tumben.

SEORANG PRIA (O.S.)
Banyak rejeki.

Nazarudin nampak berpikir sejenak. Bibir bagian bawahnya ia gigit.


NAZARUDIN
Nggak bisa, Saya ada keperluan
penting. Mau pulang kampung ke
Lampung.

SEORANG PRIA (O.S.)
Wah beneran nggak ada yang laen
nih, Pak. Kebetulan searah nih,
alamatnya di Pandeglang, nyimpang
dikit lah.

Nazarudin membuang nafas dengan berat, mulutnya berdecak. Kemudian menggelengkan kepalanya sebelum kembali mendekatkan radio panggil ke mulutnya.

7. EXT. JALAN – PAGI.

Mobil jenazah melaju cepat di jalan yang ramai dengan SIRINE MENYALA.

8. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

SIRINE TERDENGAR. Jenazah telah ada di belakang. Nazarudin membaca dokumen jenazah. Dengan malas ia melipat dokumen itu dan memasukkannya ke dalam saku. Diliriknya terus foto di dashboard. Sembari memacu mobilnya lebih cepat lagi, senyumnya mengembang. Ia kemudian membakar sebatang rokok lagi dan menghisapnya dalam-dalam lalu seolah air wajahnya mengisyaratkan kedamaian.

Namun tiba-tiba wajah Nazarudin berubah pucat dengan nafas tersengal. Nazarudin mengurut dadanya dan TERBATUK. Ia membuang rokoknya keluar jendela. Awalnya perlahan, kemudian berangsur hebat. Digapainya termos kecil untuk meminum isinya, tapi rupanya isi dalam termos itu tinggal amat sedikit. Dengan masih menahan sesak dan batuk, Nazarudin memacu mobilnya makin cepat lagi.

9. EXT. DEPAN TOKO BUKU DAN ATK - PAGI.

Toko buku dan ATK yang letaknya di pinggir jalan besar ini masih terlihat sepi. SAFI’I (30 tahun), mengenakan pakaian sehari-hari dan sendal jepit, keluar dari dalamnya dengan tenang. Tiba-tiba TERDENGAR KERIBUTAN DARI DALAM TOKO. Safi’i kaget dan mempercepat langkahnya.

BUDI (7 tahun), anak lelaki berkepala plontos, berlari dari dalam dan telah keluar pintu toko, tapi kausnya ditarik oleh SEORANG PEGAWAI TOKO BUKU (25 tahun).

PEGAWAI TOKO BUKU
Mau kemana lo.

Budi berusaha berontak, barang-barang yang dicurinya berupa alat tulis seperti pensil dan penghapus pun berjatuhan dari dalam pakaiannya.


BUDI
(berteriak)
Bapak. Bapak.

Wajah Safi’i nampak ketakutan, tapi dia tidak berani menoleh, malah semakin mempercepat langkahnya dengan pandangan lurus ke depan. Sementara Budi masih terus berontak dari sergapan pegawai toko buku itu.

BUDI
(berteriak)
Bapak. Bapak.

Pegawai toko buku itu membawa Budi ke pinggir jalan dan menoleh ke arah Safi’i yang telah jauh berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Saat ini mobil jenazah yang dikendarai Nazarudin lewat di depan toko buku itu.

PEGAWAI TOKO BUKU
Mana bapak lo?

BUDI
(berteriak)
Bapak. Bapak.

PEGAWAI TOKO BUKU
Kecil-kecil bukannya sekolah malah
jadi maling lo!

Pegawai toko buku itu membawa Budi yang masih terus berontak dan BERTERIAK ke dalam toko.

10. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

Nazarudin masih nampak menahan sesak dan batuk dengan wajah pucat. Pandangannya tertuju pada sederet bangunan di sepanjang jalan yang ia lewati, dimana hanya terus terdapat rumah. Saat itulah ia melihat sebuah warung makan di sebelah kanannya. Ia melirik spion lalu memberikan lampu sign ke kanan dan membawa mobilnya berhenti di depan warung itu.

11. EXT. DEPAN WARUNG – PAGI.

Warung ini terletak di paling pinggir dari deretan warung-warung dengan beberapa kendaraan besar terparkir. Terlihat PEREMPUAN PENJAGA WARUNG (28 tahun) tengah membetulkan kompor minyak dengan kesulitan. SEORANG PENGUNJUNG (35 tahun) sedang makan.

Nazarudin datang dengan menenteng plastik berisi beberapa jenis tumbuhan obat dan termos. Tubuhnya lemas dan wajahnya nampak pucat.

NAZARUDIN
(lemas)
Mbak, tolong godokin ini dong.

Nazarudin menunjukkan plastik berisi beberapa jenis tumbuhan obat pada penjaga warung itu. Penjaga warung mengambilnya.

PENJAGA WARUNG
Sebentar ya, Pak. Kompornya rusak.
Biasanya bukan saya yang ngerjain
ini.

Safi’i datang dan mendekati mobil jenazah untuk melongok ke dalamnya. Nazarudin menyadarinya, mereka sempat bertemu pandang. Safi’i memperhatikan seragam pengantar jenazah yang dikenakan oleh Nazarudin. Nazarudin dan Safi’i masih saling pandang.

PENGUNJUNG WARUNG
Obat, Pak?

NAZARUDIN
Ho’oh.

Safi’i masih berdiri. Ia memperhatikan Nazarudin dan sesekali melongok ke luar.

NAZARUDIN
Masih lama ya, Mbak?

PENJAGA WARUNG
Aduh, sabar ya, Pak.

Melihat situasi ini, Safi’i berjalan mendekati penjaga warung untuk dengan tanpa basa-basi membantu membetulkan kompor itu. Dengan lancar Safi’i melakukannya hingga kompor menyala. Nazarudin memperhatikannya. Penjaga warung mulai merebus air.

NAZARUDIN
Direbus semua, tapi masukinnya
jangan sekaligus, harus satu-satu.
Airnya juga harus mendidih dulu.
Saya juga nggak tau kenapa,
disuruhnya gitu. Kalo udah
disaring terus masukin ke sini.

Nazarudin menjelaskan itu sambil menunjukkan semua ramuan obatnya dan termos. Safi’i keluar dari warung dan mendekati mobil jenazah Nazarudin.

PENGUNJUNG WARUNG
Lagi sakit kok kerja, Pak?

NAZARUDIN
Terus mau makan apa kalau nggak
kerja?

PENGUNJUNG WARUNG
Emang anak-anaknya nggak ngelarang?

Nazarudin hanya tersenyum. Penjaga warung datang dari dalam membawa termos kecil milik Nazarudin.

NAZARUDIN
Berapa, Mbak?

PENJAGA WARUNG
Terserah. Air panas doang.

Nazarudin memberi selembar uang kepada penjaga warung yang takjub dengan jumlah uang yang diterimanya itu.

PENJAGA WARUNG
Cepet sembuh, Pak.

NAZARUDIN
Amin.
(kepada pengunjung warung)
Ayo.

PENGUNJUNG WARUNG
Ati-ati, Pak.

Nazarudin berjalan ke arah mobil jenazahnya yang terparkir. Safi’i masih berdiri di dekat mobil itu, Nazarudin menepuk pundaknya kemudian memasuki mobilnya.


12. INT. MOBIL JENAZAH – PAGI.

Nazarudin baru MENYALAKAN MESIN MOBILNYA ketika tanpa seizinnya Safi’i masuk dan duduk di sebelahnya. Wajah Nazarudin tampak keheranan.

SAFI’I
Saya ikut, Pak.

NAZARUDIN
(tersenyum)
Saya mau anter itu dulu.
(menunjuk ke belakang)
Terus ke Lampung.

SAFI’I
Saya ikut, Pak.

NAZARUDIN
Kamu bisa nyupir, ga?

Safi’i mengangguk. Tampak raut berharap dari wajah Safi’i kala menatap Nazarudin. Nazarudin kemudian menatap wajah Safi’i dan tersenyum.

13. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

NAZARUDIN
Safi’i?

Safi’i mengangguk sekali, dibalas dengan anggukan oleh Nazarudin beberapa kali. Mobil melaju cepat dengan sirine menyala melintasi jalan yang terdapat petunjuk jalan menuju Merak. Safi’I mengemudi dan Nazarudin duduk di bangku sampingnya.

Mereka melewati jalan yang terdapat kelokan menuju jalan kecil tidak beraspal. Ketika sekilas menoleh ke jalan itu, ia melihat ada PEDAGANG PARFUM DAN MINYAK RAMBUT (20 tahun) yang tengah berjalan. Wajah Nazarudin terkesiap dan berseru. Membuat Safi’i keheranan.
NAZARUDIN
Stop!

14. EXT. PINGGIR JALAN – SIANG.

Mobil jenazah itu mundur sampai tepat di mulut jalan dimana pedagang parfum berada. Kemudian masuk ke jalan tersebut.

15. EXT. JALAN – SIANG.

Mobil ini berhenti tepat di samping Pedagang parfum dan minyak rambut. Nazarudin turun dan menghampirinya. Safi’i terus memperhatikan apa yang dilakukan oleh Nazarudin. Nazarudin mengambil sebotol minyak rambut. Diperhatikannya botol minyak rambut itu sebelum kemudian mengambil beberapa jenis minyak wangi dalam botol-botol kecil.

NAZARUDIN
Kamu sudah menikah?
Senang ya, kalau sudah berkeluarga.

Nazarudin mengendus beberapa jenis minyak wangi ke seragamnya. Nazarudin menimbang dua jenis minyak wangi. Wajahnya nampak berpikir dan memilih.

PEDAGANG
Dua-duanya aja, Pak.

Sementara wajah Nazarudin nampak berpikir, dan kemudian mengoleskan kedua minyak wangi itu ke kemejanya lalu menimbang-nimbang. Pedagang itu menantinya dengan penuh harap. Nazarudin hanya tersenyum, lalu menggeleng.

NAZARUDIN
Nggak jadi deh. Minyak rambutnya
aja.

Nazarudin kembali meletakkan dua botol minyak wangi itu dan mengambil botol minyak rambut.

PEDAGANG
Yang laen, Pak? Dompet? gesper?

Nazarudin hanya menggeleng sambil merogoh sakunya.

NAZARUDIN
Jual selendang?

Pedagang tampak berpikir sebentar, lalu membuka tas gendongannya dan mencari kedalamnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kain bermotif batik yang masih terbungkus plastik dan memperlihatkannya kepada Nazarudin.

NAZARUDIN
(bersemangat)
Ini dia! Ada motif yang lain gak?

PEDAGANG
Tinggal satu-satunya pak.

Nazarudin nampak berpikir sebentar.

16. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

SIRINE MENYALA. Safi’i mengemudikan mobil dengan kecepatan yang amat tinggi saat Nazarudin mengendus seragamnya yang harum dan mengamati selendang di tangannya. Wajah Safi’i tampak senang, sementara Nazarudin terlihat ketakutan bahkan kesulitan untuk minum dari termos. Diputarnya kemudi ke kanan dan ke kiri oleh Safi’i untuk menyalip kendaraan di depannya.

17. EXT. JALAN – SIANG.

Mobil jenazah itu melaju ugal-ugalan dengan SIRINE MERAUNG menyalip kendaraan-kendaraan di depannya. Kemudian menerobos pintu perlintasan kereta api waktu palang pintu baru saja bergerak turun.

18. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Mobil masih melaju dengan kecepatan tinggi. Nazarudin melongok ke belakang sebentar sebelum menatap kesal pada Safi’i.

NAZARUDIN
Saya minta kamu cepet bukan
berarti harus ugal-ugalan.
Pelan-pelan aja deh, nanti
malah kayak yang dibelakang
lagi.

Nazarudin menunjuk pada jenazah yang terbaring di belakang. Tapi Safi’i belum juga mengurangi kecepatan. Sekali lagi kemudi diputar untuk menyalip.

NAZARUDIN
(membentak)
Kamu denger nggak!

Wajah Safi’i mendadak berubah setelah Nazarudin membentaknya. Ia terus memandangi foto milik Nazarudin yang tertempel di dashboard kemudian mengeletnya untuk dilihat lebih dekat. Melihat itu Nazarudin segera meraihnya. Nazarudin berusaha menempelkan kembali foto itu namun setelah beberapa kali foto itu tidak juga dapat rekat. Maka ia pun memasukkan foto itu ke dalam saku seragamnya.
Kedua orang ini saling diam beberapa lama.

NAZARUDIN
Kamu sudah menikah?

Safi’i hanya mengangguk pelan.

NAZARUDIN
Sudah punya anak?

Safi’i diam agak lama. Nazarudin menanti jawaban
Safi’i. Tiba-tiba Nazarudin melihat sesuatu di
pinggir jalan. Sengaja ia mengeluarkan kepalanya
untuk memastikan apa yang tadi dilihatnya.

NAZARUDIN
(mengagetkan)
Berhenti. Berhenti.

Membuat Safi’i tersadar dari lamunannya. Mobil menepi, Nazarudin keluar.

19. EXT. PINGGIR JALAN – SIANG.

Nazarudin memungut sepasang sepatu bot kotor yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Dipandanginya dengan wajah senang sepasang sepatu itu sebelum bergerak ke selokan kecil untuk mencucinya. Setelah bersih, ia kembali masuk ke dalam mobil. Tampak Safi’i hanya memperhatikannya.

20. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Safi’i langsung memacu mobil dengan cepat, membuat Nazarudin kaget. Wajah Nazarudin nampak kesal.

NAZARUDIN
Berhenti.

Safi’i pun mengerem mendadak.

NAZARUDIN
Gantian, kamu susah dibilangin.

Nazarudin pun membuka pintu.

21. EXT. JALAN – SIANG.

Nazarudin pindah ke kursi kemudi. Safi’i pun keluar dan berjalan ke belakang.



22. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Saat Nazarudin hendak segera menjalankan mobilnya untuk meninggalkan Safi’i, ia tidak menemukan kunci mobilnya. Dicarinya kebawah namun tidak juga ditemukan. Sampai kemudian Safi’i masuk dan melihat apa yang tengah dilakukan Nazarudin, lalu menyerahkan kunci ditangannya. Dengan wajah kesal Nazarudin menarik kunci dari tangan Safi’i dan segera menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi namun tenang. Nazarudin dan Safi’i saling diam untuk waktu yang cukup lama. Pandangan Safi’i terlihat kosong, beberapa kali Nazarudin memergokinya.

NAZARUDIN
Kamu punya anak?

Pandangan Safi’i masih terlihat kosong.

NAZARUDIN
Kamu punya anak?

Kali ini Safi’i menoleh pada Nazarudin, tapi tidak menjawabnya. Mereka pun kembali saling diam.

NAZARUDIN
(sambil terkekeh)
Wah senang ya kalau punya anak.

Wajah Safi’i nampak tercekat dan menelan ludahnya dengan berat.

23. EXT. PINGGIR JALAN BAWAH POHON – SIANG.

Mobil ini berhenti di bawah sebuah pohon besar yang banyak terdapat di sepanjang jalan ini. Saat itu SEORANG TUKANG CUKUR KELILING (40 tahun) tengah lewat di atas bayangan. Nazarudin turun dari mobil dan memberi isyarat agar tetap di mobil kepada Safi’i sebelum mendekat kepada tukang cukur.

24. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Safi’i sedang duduk dengan pandangan kosong di kursi samping. Ia tidak melakukan apa-apa. Hanya terus menatap lurus ke depan, sementara TERDENGAR SUARA PERCAKAPAN ANTARA NAZARUDIN DENGAN PENCUKUR RAMBUT.

25. EXT. PINGGIR JALAN BAWAH POHON – SIANG.
Nazarudin menyentuh rambut bagian belakangnya. Tukang cukur melanjutkan pekerjaannya.

NAZARUDIN
(sambil tersenyum)
Saya harus tampil rapih untuk
menyambut hari baik ini.

26. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Safi’i terkejut oleh kedatangan Nazarudin dengan rambut yang telah rapi. Nazarudin memandang wajahnya di kaca sambil merapikan rambut.

NAZARUDIN
Gantian kamu yang nyupir ya?

Safi’i hanya menggeleng. Nazarudin tampak heran.

NAZARUDIN
Yaudah kamu turun.

Safi’i menggeleng lagi.

NAZARUDIN
Saya nggak akan jalan kalau kamu
nggak turun.

Safi’i diam saja, sementara Nazarudin menanti Safi’i turun. Tapi karena Safi’i tidak juga turun, Nazarudin pun MENYALAKAN MOBILNYA dan melaju dengan cepat. Wajah Nazarudin nampak kesal sedangkan Safi’i memandang kosong ke jalan.

Nazarudin mulai mengurut dadanya dan TERBATUK HEBAT kemudian menepikan mobil dan berhenti. Nazarudin masih TERBATUK HEBAT. Safi’i keluar dan berjalan ke depan, Nazarudin tersenyum licik sebelum berpindah ke tempat duduk penumpang. Kedua orang itu bertukar posisi. Mobil kembali melaju.

27. EXT. JALAN – SIANG.

Mobil itu tampak melaju di jalan yang sepi tanpa satu pun kendaraan yang lewat.

28. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Nazarudin melepaskan emblem pada seragam pengantar jenazahnya dengan silet sampai seragam ini jadi kemeja polos rapi.


NAZARUDIN
Saya sudah menantikan hari baik
ini sejak lama. Seneng banget
rasanya…

Kemudian memotong bagian atas sepatu bot hingga tampak bagai sepatu baru yang mengkilat. Nazarudin menampakkan wajah puas pada hasil pekerjaannya. Sementara Safi’i berkonsentrasi pada jalan.

29. EXT. JALAN – SIANG.

Safi’i masih mengemudi. Mobil berhenti. Nazarudin mengeluarkan kepalanya melalui jendela. Ia mulai mengamati sekeliling jalan yang dilalui. Nazarudin melihat jam tangannya dan kemudian bertanya pada SESEORANG yang ada di pinggir jalan.

NAZARUDIN
Misi, Pak. Tau alamat ini?

Nazarudin menyerahkan dokumen (peta) kepada orang itu.

SESEORANG 1
Ehm..kalo gak salah,bapak tinggal
lurus, dikit lagi kok pak.

NAZARUDIN
Makasih, Pak.

Mobil jalan kembali untuk beberapa saat lalu berhenti dan Nazarudin melongokkan kepala dan berbicara dengan SESEORANG 2 yang lewat. Kemudian mobil tersebut jalan lagi. Tak lama mobil menepi di depan SESEORANG 3 (25 tahun) yang sedang berdiri di pinggir jalan.

Nazarudin tampak berbicara dengan orang tersebut lalu kemudian naik ke mobil lagi.
Mobil kembali melaju. Mobil kemudian menepi di depan SESEORANG 4 (65 tahun) yang sedang berdiri di pinggir jalan. Nazarudin turun dan menghampiri orang tersebut

NAZARUDIN
(memperlihatkan kertas alamat)
Bapak tau alamat ini?

SESEORANG 4
Daerahnya bener disini, bapak
kayaknya kelewatan kalo dari
petanya disini, harusnya ada
di belakang tadi patokannya
yang ada jalan agak naik tadi pak.

NAZARUDIN
Bapak yakin?

SESEORANG 4
Dari lahir saya disini.

NAZARUDIN
Misi, Pak.

Mobil pun kembali melaju.

30. EXT. JALAN – SIANG.

Mobil jenazah itu melintas di jalan dimana terdapat tikungan curam yang tadi telah terlewati. Tapi arah laju mobil ini berlawanan dengan yang tadi.

31. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Nazarudin tampak gelisah sambil memperhatikan sekelilingnya. Ia mencoba menghubungi kantornya melalui radio panggil di mobilnya, namun TERDENGAR SUARA YANG TIDAK JELAS DARI RADIO PANGGIL ITU. Nazarudin memukul radio panggil itu beberapa kali, namun masih TERDENGAR SUARA YANG TIDAK JELAS DARI RADIO PANGGIL ITU. Safi’i mencoba memukul radio panggil itu beberapa kali dengan kekuatan yang lebih besar, hingga radio itu benar-benar tidak mengeluarkan suara.

Wajah Nazarudin nampak kesal, sementara terlihat penyesalan dari raut wajah Safi’i. Nazarudin sadar kalau alat itu telah rusak. Wajahnya tampak putus asa. Mobil menepi, Nazarudin pun turun tak lupa ia mengambil kunci mobil. Nazarudin mengamati sekeliling jalanan dan memperhatikan setiap kendaraan yang lewat. Sementara Safi’i terlihat gelisah.

SAFI’I
Pak, kita nunggu apa?

NAZARUDIN
Keluarga jenazah ini, janjiannya
di sini katanya!


32. EXT. DI DEKAT MOBIL – SIANG.

Nazarudin tampak merenung, sesekali ia melihat jam tangannya. Lalu ia mengeluarkan amplop berisi uang sekitar 1 juta rupiah dan menghitungnya. Nazarudin tampak gelisah dan ia sesekali melihat jam tangannya sambil mengamati sekeliling. Ia kemudian membakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam, kali ini wajahnya kembali seperti mendapat ketenangan jiwa.

Sementara kendaraan lalu lalang, Nazarudin masih di posisi yang sama sambil sesekali melihat jam tangan dan sekitarnya. Jauh di belakang tampak SEORANG PRIA (30 tahun) membonceng WANITA BERKERUDUNG (25 tahun) dengan sepeda tua.

33. EXT. PUNCAK BUKIT – SIANG.

Nazarudin yang bertelanjang dada basah kuyup berkeringat, menyekop tanah dan menimbunnya ke atas timbunan tanah yang membumbung menyerupai makam. Seorang pria yang tampak juga lelah dan basah kuyup mengambil papan nisan sementara dan memasangnya di pangkal makam. Nisan itu bertuliskan “Ansori lahir: 1949 wafat: Jakarta, 9 September 2008”. Safi’i memandang Nazarudin dengan tatapan kosong dari dekat mobil.

Nazarudin kemudian memberikan secarik dokumen ke tangan seorang pria itu dan mereka pun bersalaman. Nazarudin mengembalikan uang yang sudah dilipat yang diberikan pria itu padanya. Pria itu menolak. Nazarudin berbisik padanya, baru ia tidak menolak ketika Nazarudin memasukannya ke dalam kantong bajunya. Nazarudin kemudian beranjak pergi sambil memegangi dadanya seperti ada sesuatu yang tertahan. Mobil pergi meninggalkan pria dan perempuan berkerudung yang tampak berdoa di dekat makam.

34. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Safi’i duduk di kursi kemudi dan Nazarudin di sampingnya. Mereka tampak berdiam diri untuk waktu lama. Sesekali Safi’i tampak hendak memandang kepada Nazarudin yang masih tampak kelelahan dan memegangi dadanya, tapi selalu diurungkannya.

35. EXT. JALAN – SIANG.

Mobil jenazah ini melaju cepat.

36. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Nazarudin minum dari termos kecil dan wajahnya nampak menahan rasa pahit. Diletakkannya termos itu kemudian. Safi’i meraihnya dan segera meminum isinya sampai habis tanpa merasakan pahit sedikit pun.

Nazarudin segera merebut termos kecilnya dan mengintip ke dalam yang kosong. Dengan wajah kesal diletakkannya termos itu di dekatnya. Dari kaca depan tampak sebuah masjid berdiri diantara hamparan sawah. Nazarudin mengacungkan jari telunjuknya ke arah masjid itu.

37. EXT. DEPAN MASJID – SIANG.

Nazarudin turun dengan membawa sepatu bot yang telah terpotong dan minyak rambut memasuki kamar mandi masjid.

38. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Safi’i sedang duduk dengan pandangan kosong di kursi samping. Ia mengambil buku dari saku belakang celananya dan diamatinya. Lama ia melakukan ini, sampai Nazarudin tiba. Safi’i pun terkejut.

39. EXT. DEPAN MASJID – SIANG.

Nazarudin muncul dengan telah berpakaian rapi sambil terbatuk-batuk dengan cukup hebat. Ia memakai sepatu bot yang dipotong, kemeja polos rapi hasil dari seragam, dan rambut klimis yang terolesi minyak rambut. Ia tersenyum kepada Safi’i.

40. INT. MOBIL JENAZAH – SIANG.

Kedua orang ini nampak diam dalam waktu lama. Terlihat sesekali Nazarudin memejamkan mata dan segera membukanya kembali. Nazarudin membuka suratnya dan membaca dan kemudian menempelkannya di dada. Sementara itu Safi’i terus mengemudi dengan tatapan kosong ke depan dimana jalanan lurus menitik.

41. EXT. JALAN LURUS – SORE.

Mobil melintas di jalan yang lurus dengan kecepatan tinggi.

42. INT. MOBIL JENAZAH – SORE.

Tampak di kejauhan terdapat simpang empat. Wajah Safi’i terlihat bingung. Sesekali ia menoleh kepada Nazarudin yang terlihat tidur pulas.

SAFI’I
Kemana lagi ni, Pak?

Nazarudin masih tertidur.

SAFI’I
Pak?

Ia pun memutuskan untuk mengambil jalan lurus.

43. INT. MOBIL JENAZAH – SORE.

Nazarudin masih tertidur. Sementara Safi’i celingukan dengan raut wajah tidak yakin dengan jalan yang diambil.

SAFI’I
Pak?

Safi’i tidak mendapat jawaban. Ia pun terus memacu mobil jenazah ini.

44. EXT. JALAN MENUJU PANTAI – SORE.

Mobil jenazah melewati jalan dimana terdapat deretan pohon kelapa dan pantai di kejauhan.

SAFI’I (O.S.)
Pak? Pak?

45. INT. MOBIL JENAZAH – SORE.

Tampak dari kaca depan mobil ini pantai telah membentang. Safi’i menghentikan mobil ini.

SAFI’I
Nyasar pak. Pak.

Safi’i tidak mendapat jawaban dari Nazarudin yang terlelap.

SAFI’I
Pak. Pak.

Karena Nazarudin tidak juga bergerak, Safi’i berusaha menggugahnya. Tapi Nazarudin tidak juga bergerak. Safi’i kembali menggugah Nazarudin yang masih tidak juga bergerak. Ketika mencoba sekali lagi, tubuh Nazarudin tampak lemas dan jatuh ke samping menempel pada pintu. Safi’i panik lalu segera keluar dari mobil.

46. EXT. PANTAI – SORE.

Dengan wajah bingung, Safi’i duduk di pasir memandangi mobil yang berhenti dengan pintu kemudi terbuka sehingga terlihatlah jenazah Nazarudin yang terduduk. Safi’i melakukan itu dalam waktu yang lama, duduk di pasir dengan pandangan kosong. Kemudian ia bangkit dan berjalan ke kursi kemudi untuk mengambil surat yang digenggam Nazarudin dan foto perempuan milik Nazarudin dari saku seragam.

Safi’i mulai membaca surat itu sampai selesai. Wajahnya berubah usai membaca surat itu. Ia menerawang lalu mulai meneteskan air mata. Ia mencoba menenangkan diri kemudian Safi’i bergerak mengeluarkan jenazah Nazarudin. Dibopongnya jenazah Nazarudin ke belakang mobil lalu diletakkan. Safi’i mulai membuka pintu belakang mobil dan memasukkan jenazah Nazarudin ke dalamnya. Ia kemudian mengambil sebuah buku dari kantung celananya dan memandanginya.

47. INT. MOBIL JENAZAH – SORE.

Safi’i memngemudikan mobil dengan lambat.Sesekali menoleh ke belakang memandangi jenazah Nazarudin yang telah dibungkus kain selendang milik Nazarudin dengan rapi, terus dilihatnya surat milik Nazarudin dan membaca alamat yang tertera di amplop. Ia juga kerap menatap selembar foto milik Nazarudin yang tergeletak begitu saja di dashboard.

PEREMPUAN (O.S)
Kepada Abang Udin yang tersayang,
anak kita sudah hampir lahir.
Kemarin aku dari dokter dan mereka
bilang anaknya laki-laki. Sesuai
harapan Kang Udin. Mudah-mudahan anak
kita lahir dengan selamat ya kang.
Tidak kekurangan sesuatu apapun.
Aku tau Kang Udin sibuk, kalau
seandainya tidak bisa pulang saat
ini juga tidak apa-apa. Perkiraan
anak kita akan lahir pada tanggal
11 September. Doa Istrimu selalu
menyertaimu.

Lalu membuka amplop dan menghitung uang yang ada disana. Ia pun memacu mobilnya lebih cepat lagi.

48. EXT. DEPAN TOKO BUKU DAN ATK – SENJA.

Budi tengah duduk murung di depan toko buku yang telah tutup ketika mobil jenazah berhenti di depannya dan keluarlah Safi’i dengan pakaian pengantar jenazah milik Nazarudin berikut sepatu boots dan rambut yang kelimis. Safi’i menyerahkan buku berjudul ‘Belajar Membaca’. Budi tersenyum. Mereka berpelukan erat. Safi’i tersenyum haru.

49. EXT. JALAN – SENJA MENJELANG MALAM.

Mobil jenazah itu melaju dengan cepat.

SAFI’I (O.S.)
I-N-I. Ini.

BUDI (O.S.)
I-N-I. Ini

SAFI’I (O.S.)
B-A-P-A-K. Bapak

BUDI (O.S.)
B-A-P-A-K. Bapak

SAFI’I (O.S.)
B-U-D-I. Budi.

BUDI (O.S.)
B-U-D-I. Budi. Ini Bapak Budi!

Mobil menuju ke jalan yang menunjukkan arah Lampung-Merak.




Selesai

FRONTEIRA

1. EXT. BUKIT – SORE.

MOCHTAR (27 tahun) tampak kumal, memakai kaus yang kotor dan mengenakan celana pendek dengan tangan terikat ke belakang berlari serampangan menghindari tembakan. SUARA TEMBAKAN KERAP TERDENGAR. Kondisi tanah yang tidak rata membuatnya harus turun naik menyelamatkan diri.

Tampak terengah-engah saat sesekali berhenti di balik sebuah pohon besar, untuk menoleh ke belakang, dimana hanya TERDENGAR TEMBAKAN tanpa terlihat sosok asal tembakan itu. Mochtar kembali berlari dengan kecepatan yang sama. Satu tembakan hampir mengenai tubuhnya, membuatnya semakin mempercepat larinya. SEKALI TERDENGAR TEMBAKAN, KEMUDIAN SUNYI. Mochtar mempercepat larinya menuju dataran yang lebih tinggi.

2. EXT. JURANG – SORE.

Mochtar berhasil mencapai puncak dataran yang tinggi itu. Tapi ia terhenyak saat mengetahui kalau dibalik tanah yang tinggi itu adalah jurang. Ia tidak sempat berbalik, maka Mochtar terperosok ke dalamnya. Tubuhnya meluncur deras berguling-guling di jurang yang cukup terjal itu. SESEKALI SUARA TEMBAKAN MASIH TERDENGAR.

3. EXT. SUNGAI – SORE.

Tubuh Mochtar yang meluncur berguling-guling akhirnya jatuh ke dalam sungai kecil dengan arus yang tidak terlalu deras namun dalam.

LAYAR HITAM.
JUDUL, ‘FRONTEIRA’.

Tubuh Mochtar menelungkup tersangkut pada sebuah batu di tepi sungai. Hanya kepala dan sebelah tangannya yang berada di atas air. LANGKAH KAKI MENDEKAT. Air sungai memantulkan DUA SOSOK ANAK KECIL yang mengangkat tubuh Mochtar dan membawanya ke tepi.

4. EXT. HUTAN – MALAM.

Mochtar tergeletak di atas tumpukan daun kering. Beberapa bagian di kepalanya terlihat terlapisi ramuan dari dedaunan yang ditumbuk. Tampak api unggun kecil yang diatasnya terpanggang daging binatang. Ada semacam bifak alam berukuran dua orang yang terbuat dari daun rumbia kering yang letaknya agak jauh dari api unggun itu.

Duduk berhimpitan di dekat api, menatap lekat, LOPE (16 tahun) perempuan yang memangku senapan dan BETO (11 tahun) lelaki yang menggenggam pisau. Lope tengah minum dari batok kelapa ketika dengan tiba-tiba Beto bangkit. Setengah berlari menghampiri Mochtar yang masih tertidur dengan pisau terhunus. Lope yang menyadari hal itu segera melempar batok kelapa di tangannya demi menggagalkan maksud Beto.

Tubuh yang kecil itu didorongnya sampai terhempas ke tanah, pisau di tangan Beto pun terjatuh. Kedua anak kecil itu saling menatap dengan tajam, Lope yang berdiri dan Beto yang tersungkur serta pisau yang tergeletak diantara mereka.

BETO
(keras)
Kita tidak tahu siapa dia, Kak.

BETO
(keras)
O lahatene se mak nia, Mana.

Dengan tatapan tajam, Lope menggelengkan kepalanya kepada Beto lalu menyita pisau itu. Tiba-tiba TERDENGAR ERANGAN DARI MULUT MOCHTAR. Dengan ketakutan Beto bangkit dan berlindung di balik tubuh Lope yang juga terlihat gugup dengan mengacungkan senapannya ke arah Mochtar.

Perlahan Lope dan Beto mundur dengan tetap mengarahkan ujung senapan ke tubuh Mochtar. Kaki Beto menabrak kayu penyanggah daging binatang di atas api. Mereka kaget, Beto langsung berusaha mengambil daging binatang yang jatuh dan mengambalikannya seperti semula sehingga MENIMBULKAN SUARA YANG GADUH. Itu membuat Mochtar terhenyak dan bangkit duduk.




MOCHTAR
(gelagapan)
Tunggu, tunggu. Jangan tembak
saya. Tenang. Jangan tembak.

MOCHTAR
(gelagapan)
Hein, hein. Labele tiru hau.
Kalma, lalika tiru.

Mochtar memperhatikan sekeliling sambil menggerakkan tangannya dengan maksud menenangkan kedua anak di depannya.

BETO
Dia orang Indonesia, Kak.

BETO
Nia ema Indonesia, Mana.

Beto masih berlindung di balik tubuh Lope yang tetap mengacungkan senapannya ke arah Mochtar. Sesekali Mochtar memegangi kepalanya dan MENGERANG.

BETO
(keras)
Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan
disini? Ini bukan negara kamu.

BETO
(keras)
O se?........................

MOCHTAR
(gugup)
Saya.

MOCHTAR
(gugup)
Hau.

Mochtar tampak berpikir sejenak.

MOCHTAR
Saya tersesat di hutan ini.
saya pedagang.

MOCHTAR
Hau lao sala dalan iha ai
laran ne..................

BETO
(keras)
Jangan bohong. Mana daganganmu?
Lalu kenapa tanganmu terikat?
Kami melihat ada yang mengejarmu.

BETO
(keras)
Labele bosok................
Tan sa mak O nia leman kesi?
Ami lahare ema ida duni O.

Mochtar tampak gugup. Mulutnya gelagapan.

MOCHTAR
(gugup)
Saya haus. Tolong beri saya air.

MOCHTAR
(gugup)
Hau hamrok. Ajuda fo be hau.

BETO
(keras)
Jawab dulu pertanyaan saya.

BETO
(keras)
Hatan lai saida mak hau husu.

Lope mengarahkan senapannya ke batok kelapa berisi air yang sejak tadi memang sudah berada di dekat Mochtar. Mochtar menoleh ke arah batok kelapa itu, dan mulai mendekat untuk minum dengan rakus air dalam batok kelapa itu dengan mulutnya. Air di dalam batok kelapa pun tandas. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat sebelum Lope sedikit menggerakkan ujung senapannya untuk diarahkan ke wajah Mochtar. Mochtar langsung gugup.

MOCHTAR
(gelagapan)
Mereka ingin membunuh saya.
Untunglah saya berhasil lari
setelah lama ditawan. Terima kasih.

MOCHTAR
(gelagapan)
Sira atu oho hau. Sorti hau bele
halai husi sira nia limau. Obrigado.

BETO
(keras)
Mengapa kamu ditawan?

BETO
(keras)
Tamba sa mak sira kaer O?


Mochtar terdiam beberapa saat, wajahnya tampak berpikir keras.

MOCHTAR
Saya mau ke Dili.

MOCHTAR
Hau atu ba Dili.

BETO
(keras)
Bukan itu yang saya tanya.

BETO
(keras)
Bau la husu ida he.

Mochtar terlihat tidak bisa berkata-kata. Dahinya berkerut. Lope seperti mencium bau sesuatu, dan pandangannya pun tertuju ke daging di atas api. Ia dan Beto pun menghampiri daging itu dan mengeratnya di beberapa bagian lalu mulai memakannya. Terlihat Mochtar yang amat menginginkan daging itu dengan terus menatapnya.

Melihat wajah Mochtar itu, Lope mengerat sebagian daging dan dengan isyarat menyuruh Beto untuk memberikannya kepada Mochtar.


BETO
(keras)
Biar saja dia kelaparan, Kak.

BETO
(keras)
Husik ba nia hamlaha, Mana.

Tapi dengan tatapan tajam, Lope kembali mengulangi perintahnya dengan menyodorkan daging diatas selembar daun kepada Beto. Beto pun akhirnya bangkit dengan wajah kesal, dan melemparkan daging itu dengan kasar ke depan Mochtar. Mochtar langsung menggasaknya. Beto kembali duduk di samping Lope. Dengan mulut penuh makanan Mochtar menunjuk Lope.

BETO
(keras)
Dia tidak mau berbicara dengan
pembohong sepertimu.

BETO
(keras)
Nia lakohi koalia ho ema lohiten
hanesan O.

Mochtar terhenyak. Lope dan Beto tetap makan dengan lahap.

MOCHTAR
Bisakah kalian mengantar saya
ke Dili?

MOCHTAR
Bele ka lae imi lori hau ba iha
Dili?

BETO
(keras)
Tidak akan.

BETO
(keras)
Mak lae duni.

Mochtar mulai memasang wajah memelas.

MOCHTAR
(memohon)
Kasihanilah saya. Dagangan saya
dirampok. Saya ingin ke Dili.
Tapi saya tidak tahu jalan kesana.

MOCHTAR
(memohon)
Hanoin hau ba...............
Hau hakarak fila ba Dili.
Maibe hau lahatene dalan
ba iha neba.

Wajah Lope tampak senang dan seperti antusias dengan apa yang dikatakan Mochtar. sementara Beto hanya diam. Sedangkan Mochtar terlihat berpikir seperti mencari kebohongan lain.

MOCHTAR
(memohon)
Saya akan melakukan apapun untuk
membalas kebaikan kalian.
Tolonglah.

MOCHTAR
(memohon)
Hau bele halo saida deit, para
bele selu imi nia diak. Ajuda
hau ba.

BETO
(keras)
Kami tidak akan keluar dari
hutan ini. kau saja yang pergi
sana.

BETO
(keras)
Ami nungka atu sai husi au laran
ne. O bele ba agora, se O hakarak.


Wajah Mochtar tampak pasrah. Ia bergantian memandangi wajah kedua anak di depannya.

MOCHTAR
(memohon)
Tolonglah. Saya mohon. Antarkan
saya ke Dili.

MOCHTAR
(memohon)
Ajuda hau lai. Favor bot. Lori
hau ba Dili lai.

Lope tersenyum dan mengangguk. Sementara Beto kaget melihat anggukan Lope itu.

BETO
Untuk apa Kakak menolong orang
Indonesia?

BETO
Atu halo saida mak Mana hakarak
ajuda ema Indonesia?

Beto dan Mochtar saling menatap. Lalu Beto menatap Lope.

BETO
Kakak, kita tidak punya siapa-siapa
lagi. Jangan percaya kepadanya.

BETO
Mana, to ohiu loron ita mesak deit
iha ne. Lalika fiar ba nia.

Mata Lope seperti berusaha menjelaskan sesuatu kepada Beto yang terlihat mengerti dengan apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh Lope itu. Semacam harapan terlihat di bola mata dan senyum Lope. Sementara kening Mochtar berkerut karena tidak mengerti apa yang kedua anak itu perbincangkan.

BETO
Itu tidak mungkin, Kak. Biar saja
orang itu pergi sendiri, kita
jangan keluar dari hutan ini.

BETO
Imposibel, Mana. Husik deit ema
ne ba mesak, ita lalika sai husi
ai laran ne.

Lope terus diam.

BETO
Aku tidak percaya dengan apa
yang dia katakan. Dia pasti
telah berbohong.

BETO
Hau la fiar saida mak nia hatete.
Nia lohi ona.

Lope masih terdiam. Beberapa saat kemudian ia meraih tangan Beto dan menggenggamnya. Mata Lope pun lembut menatap Beto. Itu adalah isyarat Lope agar Beto percaya dengan harapannya. Beto menatap Mochtar, beberapa saat.

BETO
(keras)
Apa yang mau membunuhmu itu
fretelin?

BETO
(keras)
Fretilin mak atu oho O ka?


MOCHTAR
Ya.

MOCHTAR
(gugup)
Hei sa.

Wajah Beto tampak curiga menghadap kepada Mochtar. Ia seperti menangkap kebohongan dari ucapan Mochtar. Tatapan mata Beto itu menimbulkan keresahan pada Mochtar. Ia terlihat tidak nyaman dengan tatapan itu.

MOCHTAR
Saya Mochtar. Siapa nama kalian?

MOCHTAR
Hau Mochtar. Imi nia naran?

BETO
Ini Lope.

BETO
(keras)
Ida ne Lope.

Beto menunjuk kepada Lope.

BETO
(lanjutan)
Saya Beto.

BETO
(lanjutan)
Hau Beto

Mochtar tersenyum kepada Lope.

MOCHTAR
Obrigado, Lope.

Lope membalas senyum Mochtar, lalu beranjak ke bifak untuk berbaring memeluk senapannya lalu memejamkan mata. Sementara wajah Beto terlihat masih menampakkan kecurigaan kepada Mochtar. Ia terus menatapnya, sementara Lope mulai tertidur. Mochtar pun gelisah dengan cara Beto memandangnya itu.

5. EXT. HUTAN – PAGI.

Beto tampak duduk murung di dekat abu sisa api unggun. Ia tertunduk sambil memainkan kayu yang telah menghitam, mengorek-ngorek tumpukan abu. Di hadapannya berdiri Lope yang mengacungkan senapan ke arah Mochtar di depannya yang tangannya masih terikat. Lope dengan perbekalan daging rusa kering yang dijalin pada akar tanaman menggantung di tubuhnya menatap Beto seperti menunggu.

Tapi Beto tetap diam. Maka dilemparkannya pisau yang disita semalam ke dekat kaki Beto, dan dengan isyarat menyuruh Mochtar untuk jalan. Tapi Mochtar belum beranjak, ia menatap Beto dengan sedih seperti berharap agar Beto mengubah keputusannya dan ikut dengan mereka. Lope pun mengarahkan ujung senapannya ke kepala Mochtar yang langsung melangkah dengan lemas. Sesekali Mochtar menoleh ke belakang untuk melihat Beto yang juga menatap kepergian mereka. Sementara ujung senapan Lope masih mengarah ke kepala Mochtar.

BETO
(berteriak)
Itu tidak mungkin, kak. Dia pasti
sudah mati. Kakak, kembali, Kak.

BETO
(berteriak)
Ne imposibel, Mana. Nia mate ona.
Mana, fila, Mana.

Beto terlihat menunggu Lope berbalik. Wajahnya menunjukkan ia berharap demikian. Tapi lope sama sekali tidak menoleh. Wajah Beto pun tampak sedih. Lope dan Mochtar terus melangkah.

6. EXT. HUTAN – PAGI.

Lope dan Mochtar berjalan menyusuri hutan. Lope dibelakang dengan moncong senapan mengarah kepada Mochtar yang jauh di depannya, namun masih dalam jarak tembak dan pandangan. Tiba-tiba TERDENGAR SUARA GEMERISIK MENCURIGAKAN, mereka berdua kaget dan saling menatap.

Tapi Lope tidak mengindahkannya dan dengan isyarat memerintahkan Mochtar untuk jalan. Tidak lama kemudian SUARA MENCURIGAKAN ITU KEMBALI TERDENGAR. Dengan tenang Lope terus melenggang tanpa mempedulikan meskipun Mochtar tampak ketakutan.

MOCHTAR
(berbisik)
Ada yang mengikuti kita.

MOCHTAR
(berbisik)
Iha ema tuir ita.

Namun Lope tetap tenang. Mereka masih berjalan. Sampai ketika SUARA ITU MAKIN MENDEKAT, Lope memerintahkan Mochtar untuk bersembunyi. Kedua orang itu setengah tiarap di balik gundukan tanah yang tinggi, menunggu sampai orang yang mengikuti mereka tiba dan langsung menyerangnya. Lope tampak tenang sementara Mochtar tegang. Dengan perlahan Mochtar mengambil ranting, ia dapat melakukan itu meski dengan tangan terikat. Lope membiarkan apa yang dilakukan Mochtar itu.

SUARA LANGKAH KAKI SEMAKIN MENDEKATI MEREKA. Dan ketika Lope dan Mochtar serempak bangkit, jelaslah kalau yang mengikuti mereka adalah Beto. Adegan ini terjadi tepat di atas gundukan tanah. Mochtar dan Beto tentu kaget dan seketika itu juga lega. Sedangkan Lope sepertinya memang sudah mengetahui kalau Beto sejak tadi mengikuti mereka.

Lope tersenyum melihat Beto dan Mochtar tampak ketakutan.

BETO
(memelas)
Aku takut sendirian, Kak. Lagipula
aku akan menjaga kakak.

BETO
(memelas)
Hau tauk mesak, Mana. e hau mos
tenke ser salva Mana.

Lope mengusap kepala Beto dengan lembut. Mochtar tersenyum melihat ulah kakak beradik itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, dengan Mochtar di depan dan Lope serta Beto di belakang, dengan senapan terarah. Jarak antara Mochtar dengan Lope dan Beto berjauhan. Tanpa sepengetahuan mereka, dari jarak yang amat jauh ada yang melihat mereka.

7. EXT. HUTAN – SIANG.

Jarak antara Mochtar yang berjalan di depan dengan Lope dan Beto yang mengacungkan senjata di belakang sedikit agak mendekat. Beto terus saja memperhatikan Mochtar dengan curiga.

MOCHTAR
Kalian tinggal di hutan ini?

BETO
(keras)
Mamang kenapa? Tidak boleh?

MOCHTAR
Mana Bapak kalian?

BETO
(keras)
Bapak kami di surga. Jalan.

Mendengar apa yang baru saja dikatakan Beto, raut wajah Mochtar mendadak berubah. Ia terhenyak dan dari matanya terlihat perasaan iba kepada dua anak itu. Langkahnya pun sampai terhenti demi berbalik memandangi Lope dan Beto bergantian.

Mereka dihadapkan kepada sebuah pohon besar yang tumbang, melintang merintangi jalan.

BETO
(tersenyum)
Kau percaya aku bisa melompatinya,
Kak?

BETO
(tersenyum)
O Fiar hau bele haksoit, Mana?

Lope hanya menggeleng sambil tersenyum dengan bentuk bibir seperti meremehkan. Mochtar perlahan tersenyum melihat Beto yang melakukan ancang-ancang hendak berlari.

BETO
(tersenyum)
Mau bertaruh?

BETO
(tersenyum)
Hakarak taru?

Lope melepaskan jalinan daging rusa kering dari tubuhnya dan meletakkannya ke tanah.

BETO
Hahaha. Aku tidak akan membaginya
biarpun kakak menangis kelaparan.

BETO
Hahaha. Hau lakohi fahe maske mana
tanis hamlaha.

Lope tersenyum dan Mochtar TERTAWA KECIL. Beto pun mulai berlari.

BETO
(berteriak)
Jangan menyesal, Kak.


BETO
(berteriak)
Labele arepende, Mana.

Beto berhasil melompati batang pohon itu, Mochtar TERTAWA, Lope hanya tersenyum. Tapi saat Beto masih berlari setelah melompati batang pohon itu, kakinya terkena jebakan binatang. Beto BERTERIAK, dari kakinya mengucur darah karena tertusuk kayu runcing.

Mochtar dan Lope segera melompati pohon itu dan menghampirinya. Beto MENANGIS, sementara Lope dengan tergesa-gesa berusaha melepaskan jebakan binatang itu tapi tidak juga berhasil. Rupanya butuh kekuatan lebih untuk membukanya.

Mochtar bukannya diam saja. Meski tangannya terikat, usahanya untuk membuka jebakan itu tidak lebih kecil dari Lope. Wajahnya pun ikut panik. Tapi jebakan tidak juga berhasil terbuka. TANGISAN BETO MAKIN KERAS, Lope pun menghunus pisau dan memutuskan ikatan di tangan Mochtar.

Mochtar dengan lebih leluasa berhasil melepaskan Beto dari jeratan jebakan binatang itu. Darah segar segera mengucur dari kaki Beto. Mochtar langsung merobek kausnya dan melititkannya ke kaki Beto untuk menghentikan pendarahan. Beto masih MENANGIS. Lope melihat ke sekeliling dan memerintahkan mereka untuk kembali berjalan dengan isyarat tangan.

MOCHTAR
Tidak. Dia harus cepat diobati.

MOCHTAR
Lae. Nia tanke kura la lais.


Dan dengan isyarat Lope memutar kepalanya dan melihat ke pepohonan sekitar, lalu menggelengkan kepalanya.

Mochtar menggendong tubuh Beto yang masih MENANGIS di pundaknya. Sementara Lope masih mengacungkan senapan kepada Mochtar. Tapi jarak antara mereka semakin dekat. Perjalan dilanjutkan dengan kecepatan lebih.

8. EXT. SUNGAI – SENJA.

Mereka tiba di tepi sungai yang lebar dengan arus yang deras tapi dangkal. Beto masih MENANGIS dalam gendongan Mochtar, dan Lope sedikit di belakang mereka dengan telah membawa beberapa lembar daun obat. Mereka mulai menyeberangi sungai dengan berjalan kaki.

MOCHTAR
Laki-laki itu tidak boleh menangis.
Katanya mau melindungi kakak?

MOCHTAR
Malele lebale tanis. Dehan atu hein
mana?

Beto menghentikan tangisannya, tapi air matanya tampak masih keluar karena menahan perih. Sampai di seberang sungai, Mochtar mendudukkan Beto. Mochtar melihat ke sekeliling dan menunjuk ke sebuah arah kepada Lope.

9. EXT. HUTAN – MALAM.

Mereka duduk tanpa berbincang untuk beberapa saat. Tampak Beto yang terus saja memperhatikan Mochtar dengan curiga, dan Mochtar terlihat tidak nyaman dengan cara Beto menatapnya.

Posisi antara Mochtar dengan Lope dan Beto berseberangan dimana terdapat api unggung menjadi pemisah mereka. Tidak lama kemudian mereka beranjak tidur. Tampak Lope yang memeluk Beto, jadi senapan itu tergeletak saja disamping mereka. Dalam tidurnya, Mochtar dan Beto tampak tidak tenang.

10. EXT. PERKAMPUNGAN – FAJAR.

Di sebuah area yang cukup luas yang ditumbuhi rumput tinggi, Mochtar yang berseragam tentara Indonesia memegang senapan bersama SEJUMLAH TENTARA INDONESIA LAIN. Para tentara itu berjalan perlahan menuju sebuah kampung. Tampak SEORANG TENTARA DI DEPAN memberikan isyarat agar tentara yang dibelakangnya terus maju dengan langkah pelan. Mereka terus merangsek masuk ke perkampungan yang masih sepi itu.

11. EXT. PERKAMPUNGAN – PAGI.

Lope dan Beto yang saat itu masih kecil tengah bermain tatkala dari kejauhan TERDENGAR RENTETAN TEMBAKAN dari arah perkampungan. Dengan polos mereka berjalan mendekatinya. Terlihat BEBERAPA ANGGOTA TNI sedang mengejar PARA PEJUANG TIMOR BERSENJATA. TEMBAKAN DAN TERIAKAN SALING BEREBUT MEMENUHI UDARA.

12. EXT. PERKAMPUNGAN – FAJAR.

Suasana begitu kacau. Mochtar bersama tentara lain tampak mengejar PARA PEJUANG TIMOR BERSENJATA. SUARA TEMBAKAN DAN TERIAKAN TERDENGAR SAHUT-MENYAHUT.

13. EXT. PERKAMPUNGAN – PAGI.

Lope dan Beto melihat AYAH (27 tahun) dan IBU (23 tahun) mereka ada disana, sedang berlari menghindari kejaran. Lope baru akan berlari menghampiri kedua orang tuanya itu ketika secara tidak sengaja ibu mereka tertembak. Lope langsung membawa Beto tiarap dan menutup mulut adiknya yang MENANGIS, Lope juga mengeluarkan air mata.

LOPE
(menahan tangis)
Jangan bersuara.

LOPE
(menahan tangis)
Labele koalia.

Terlihat ayah mereka menangis di atas tubuh istrinya itu. Pria itu pun mengangkat tangan dan salah seorang anggota TNI membawanya. Tidak lama kemudian mayat ibu kedua anak itu diangkat dengan hormat. Lope dan Beto masih MENANGIS DENGAN SUARA TERTAHAN.

14. INT. RUMAH – PAGI.

Mochtar memasuki sebuah rumah. Ia begitu waspada dengan langkah perlahan dan mata yang awas memperhatikan seisi rumah itu. TERDENGAR SUARA LANGKAH KAKI BERLARI. Mochtar segera berlari menuju arah suara itu dan melepaskan tembakan.

Tampak SEORANG ANAK KECIL (10 tahun) tersungkur dengan darah dipunggungnya. Mochtar terhenyak, ia kaget dan tampak menyesal kalau yang ia tembak adalah seorang anak kecil. Wajahnya tampak sedih saat ia berjalan mendekati mayat itu.

15. EXT. PERKAMPUNGAN – PAGI.

Berlari mendekati mereka, SEORANG PEJUANG TIMOR BERSENJATA (25 tahun) yang langsung roboh ketika ditembak anggota TNI. Mayat pejuang itu pun dengan hormat diangkat. Perkampungan sepi, dengan perlahan Lope dan Beto keluar dari persembunyian mereka dan mengambil senapan milik pejuang itu. Beto terus MENANGIS MEMANGGIL KEDUA ORANG TUANYA saat Lope membawanya masuk ke dalam hutan.

BETO
(sesenggukan)
Papa. Mama.

BETO
(sesenggukan)
Apa. Ama.

Kedua anak kecil itu berlari cepat memasuki hutan. Tidak lama kemudian mereka pun lenyap.

16. EXT. PERKAMPUNGAN – PAGI.

Kampung itu telah sepi. Para tentara melemparkan obor ke atap yang terbuat dari daun rumbia dan dinding yang terbuat dari kayu nipah di setiap rumah yang berdiri itu. Dalam sekejap kampung itu terbakar. Terlihat raut wajah para tentara yang seperti takjub melihat kampung yang dipenuhi kobaran api itu. Sementara itu Mochtar dengan wajah penuh penyesalan menatap rumah yang tadi ia masuki.

17. EXT. HUTAN – PAGI.

Perlahan Mochtar membuka matanya, dan segera kaget saat menyadari ada ujung senapan di depan wajahnya. Terlihat Beto berdiri di depannya dengan sebelah kakinya yang masih tampak lemah. Mochtar terhenyak.

BETO
(keras)
Kamu tentara Indonesia.

BETO
(keras)
O elementus TNI.

Beto mulai mengokang senapan. Perlahan Mochtar bangkit duduk, dan Beto sedikit mundur. Saat itu Lope bangun dan melihat apa yang dilakukan Beto dengan senapan kepada Mochtar. Ia pun bergegas membawa tubuhnya ke depan Mochtar menghadap Beto. Ujung senapan jadi mengarah ke wajah lope.

BETO
(keras)
Aku sama sekali tidak percaya
kepada orang ini. Ia tentara
Indonesia, Kak.

BETO
(keras)
Hau nungka atu fiar ba ema ne.
Nia elementus TNI nian, Mana.

Mochtar tampak kaget dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Beto, sementara Lope tajam menatap Beto.

BETO
(keras)
Minggir, Kak.

BETO
(keras)
Ses tiha, Mana.

Mata Lope makin tajam menatap Beto yang langsung ketakutan. Mochtar hanya diam.

BETO
(keras)
Kenapa kakak selalu membelanya?
Papa pasti sudah mati, kak.
Untuk apa ikut dengannya?

BETO
(keras)
Nusa mak mana sempre salua hela
nia? Apa kala mate duni ona, Mana.
Nusa mak ita tenke tuir nia?

Tatapan mata Lope masih setajam tadi. Beto menantangnya dengan mengarahkan senapan ke kepala Mochtar.

BETO
(keras)
Mengaku saja, kau tentara
Indonesia kan? Jangan bohong.
Itu kenapa Fretilin menawanmu.
Kau tentara Indonesia.
Ayo, mengaku.

BETO
(keras)
Hatete sai deit, O elementus
TNI to? Labele bosok. Ba hatete
sai deit.

Mochtar diam sejenak. Wajahnya pasrah dan tampak kalau kebohongannya terbuka. Sementara Lope terus memasang badannya untuk melindungi Mochtar, wajah Beto terlihat marah.

MOCHTAR
Ya. Saya tentara Indonesia.
Hampir setahun saya ditawan
fretilin, merekalah yang
mengejar saya kemarin.

MOCHTAR
Ne sa. Hau Elementus TNI. Besik
tinan ida ona fretilin kaer hau,
sira mak duni tuir hau horseik ne.

BETO
Kau dengar, Kak? Pasti dia yang
telah membunuh mama.
(kepada Mochtar)
Kau telah membunuh Mama kami.

BETO
O rona mana? Nia mak kala oho
ita nia inan.
(kepada Mochtar)
Kau telah membunuh Mama kami.

MOCHTAR
(heran)
Aku tidak membunuh Mama kalian.

MOCHTAR
(heran)
Hau la oho imi nian inan ida.

BETO
(keras)
Kalian menawan Papa kami, pasti
kalian telah membunuhnya.

BETO
(keras)
..........................

Lope pun kembali melindunginya. Beto menurunkan senapannya dengan kesal. Dan mulai berkata dengan lembut.

BETO
(lembut)
Dia musuh kita, Kak. Penjajah.
Kita aman dihutan, kak. Tidak
ada yang mengganggu kita, aku
akan selalu melindungi kakak.
Ayah sudah mati, ayah sudah
mati, Kak. Ayo kak, kita kembali.

BETO
(lembut)
Nia ita nia inimigo, Mana. Ita
aman hela iha ai laran, Mana.
Laiha ema atu bok ita, hau
sempre salva Mana. Apa mate ona,
apa mate ona, Mana. Mai ita fila
ona, Mana.

Tapi Lope tidak peduli dan malah menarik tangan Mochtar untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Beto sedih bercampur kesal.

BETO
(berteriak)
Kakak.

BETO
(berteriak)
Mana.

Melihat Lope masih terus berjalan, Beto pun terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang sambil mengarahkan moncong senapan kepada Mochtar. Tiba-tiba Beto terjatuh. Ia MENGERANG sambil tangannya memegangi kaki yang terluka.

Lope langsung berbalik dan menghampiri Beto. Ia tampak berusaha mengurangi rasa sakit di kaki Beto dengan mengelus dan memijatnya lembut. Wajah Beto yang awalnya tampak kesakitan pun berubah, seperti apa yang telah dilakukan lope berhasil menyembuhkannya. Raut wajah Mochtar tampak terkesan dengan apa yang baru saja disaksikannya itu.

BETO
(lembut)
Aku tidak mau ditinggal
sendiri, Kak.


BETO
(lembut)
Hau la atu hela mesak. Mana.

Lope balas menatap Beto. Masih dengan raut wajah terkesan melihat adegan kakak beradik itu, Mochtar seperti ingat akan sesuatu hal. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.

18. EXT. HUTAN – SIANG.

Mochtar yang menggendong Beto menatap Lope yang tiba-tiba berhenti. Lope menundukkan tubuhnya lalu terengah-engah. Mochtar dan Beto pun hanya memandangi Lope yang tampak kelelahan itu.

MOCHTAR
Apa kalian tidak lelah atau
lapar?

MOCHTAR
Imi lakole ka hamlaha?

BETO
(keras)
Kau tidak lihat ini?

BETO
(keras)
O lahare ida ne?

Beto menunjukkan senapan kepada Mochtar.

BETO
(lanjutan)
Jalan terus.

BETO
(lanjutan)
................

MOCHTAR
(memelas)
Lihatlah kakakmu.

MOCHTAR
(memelas)
Hare ba O nia mana.

Beto menatap kepada Lope yang terjongkok, tampak kelelahan.

19. EXT. HUTAN – PAGI.

Mochtar berlari dengan kencang. Di depannya, seekor ayam hutan berusaha menghindari kejaran Mochtar. Dan masuk ke dalam kurungan yang terbuat dari ranting yang dijaga oleh Beto. Mereka berdua TERTAWA. Mochtar mengeluarkan ayam itu dari kurungan dan kembali menggendong Beto yang menyandang senapan dan menggenggam pisau untuk meninggalkan tempat itu.


20. EXT. HUTAN – PAGI.

Dengan tangan kiri yang memeluk beberapa ranting kering, Lope tengah merunduk memunguti sebatang ranting kering ketika Mochtar yang menggendong Beto tiba bersama ayam hutan buruan mereka.

BETO
(berteriak)
Kakak, lihat apa yang kita dapat.

BETO
(berteriak)
Mana, hare ba saida mak ita hetan.

Lope tersenyum. Mereka pun saling mendekat. Tiba-tiba SEBUAH TEMBAKAN TERDENGAR. Mereka terhenyak. Ayam hutan itu pun berontak dan melepaskan diri. Mochtar langsung menarik tangan Lope yang segera menghamburkan ranting-ranting kering yang telah dikumpulkannya untuk berlari menjauh dari tempat itu. SEMENTARA SUARA TEMBAKAN TERUS TERDENGAR.

21. EXT. HUTAN – SIANG.

Mochtar yang menggendong Beto dan menarik tangan Lope berlari dengan cepat. Sementara SUARA TEMBAKAN TERUS TERDENGAR. Mochtar melihat ada gundukan tanah tinggi di sebelah kanan mereka. Ia pun membawa kedua anak itu menuju kesana.

22. EXT. DIBALIK GUNDUKAN TANAH – SIANG.

Mereka duduk berlindung di balik gundukan tanah tinggi itu dengan nafas tersengal. TERDENGAR LOPE MERINTIH. Tampak lengan kirinya berdarah. Mochtar dan Beto kaget melihat hal itu. Mochtar pun menengok lengan Lope, tampak luka terserempet peluru, dan kembali merobek kausnya untuk dililitkan ke bagian lengan Lope yang berdarah.

Wajah mereka tampak pucat, terutama Beto yang matanya merah, ia pun mendorong tubuh Mochtar untuk menjauhi Lope. Mochtar pun terjungkal, sementara Beto berdiri membidikkan ujung senapannya ke wajah Mochtar.

BETO
(keras)
Mereka pasti mengincarmu. Kau
memang harus mati.

BETO
(keras)
Sira aponta hela O. O tenke mate.

TEMBAKAN KEMBALI TERDENGAR dan hampir mengenai Beto. Mereka kaget, Beto kembali berjongkok. Lope masih MERINGIS. Dengan wajah marah Mochtar merebut senapan dari tangan Beto dan bangkit untuk menyandarkan dadanya ke gundukan tanah itu. Beto hanya memandanginya.

TEMBAKAN KEMBALI TERDENGAR. Mochtar pun melepaskan SATU TEMBAKAN. TERDENGAR TEMBAKAN BALASAN. Tembakan ke arah mereka semuanya meleset. Mochtar kembali membalas dengan MELEPASKAN BEBERAPA TEMBAKAN ke target yang berpindah-pindah. Sampai kemudian suasana menjadi hening. Mochtar pun menggendong Beto dan menarik tangan Lope untuk pergi dari tempat itu.

BETO
Mereka habis?

BETO
Sira hotu ona?

MOCHTAR
Aku tidak tahu.

MOCHTAR
Hau laha tene.

Mereka berlari dengan cepat.

23. EXT. HUTAN – SIANG.

Mochtar dengan menenteng senapan menggendong Beto naik turun bukit dengan Lope disampingnya. Mereka berlari sangat cepat. Wajah mereka menampakkan ketakutan.

24. EXT. HUTAN – SIANG.

Mochtar yang menggendong Beto dengan Lope disampingnya terus berlari. Saat itu Lope terjatuh. Mochtar segera mengangkatnya, dan memegang tangannya. Mereka terus lari dengan Mochtar yang menggandeng tangan Lope dan mengendong Beto.

25. EXT. PERKAMPUNGAN YANG TELAH DIBAKAR – SENJA.

Mochtar yang menggendong Beto dan menggandeng tangan Lope berlari dengan cepat keluar dari hutan dan memasuki sebuah area luas yang tampak sebagai perkampungan penduduk yang telah dibakar. Terdapat banyak tumpukan kayu dan abu yang berwarna hitam, pecahan tembikar, serta sisa-sisa perkakas yang tampak hitam di beberapa lokasi. Tumpukan kayu dan abu itu adalah bekas rumah-rumah yang habis dibumihanguskan. Ditambah angin yang bertiup kencang, Suasana di tempat itu jadi amat sepi dan mencekam.

Mochtar ternganga melihat keadaan di depannya, dengan gerakan kepala perlahan ia terus menatap sekeliling. Sementara itu wajah Beto tampak sedih. Mochtar masih tidak berhenti memandangi keadaan di sekelilingnya dengan wajah gusar. Itu membuat langkahnya sedikit melambat. Lope tampak lemas dan terengah-engah, Mochtar dan Beto memperhatikannya. Tapi beberapa saat kemudian Lope kembali bangkit dan berlari.

Beto menekan pisaunya ke leher Mochtar dan dengan isyarat matanya memandang senapan. Beto bermaksud meminta senapan yang ditenteng oleh Mochtar. Tampak dari wajah Mochtar yang sepertinya tidak ingin menyerahkan senapan itu kepada Beto, tapi dengan menekan pisaunya Beto memaksa. Dengan terpaksa Mochtar pun menyerahkan senapannya itu kepada Beto. Mereka lari lagi, kini tangan Lope sudah tidak lagi digandeng oleh Mochtar.

26. EXT. HUTAN – MALAM.

Mochtar bersama Lope dan Beto tidur saling berhimpitan, tampak tidak lagi ada jarak diantara mereka. Seperti saling melindungi dari hawa dingin dengan memberikan kehangatannya masing-masing. Terlihat Beto yang memeluk senapannya.

Mochtar bangkit duduk dan menatap kedua anak itu dengan wajah iba. Lama ia memperhatikan mereka sebelum membalikkan tubuhnya dan membelakangi kedua anak yang tengah tertidur itu lalu dengan mata waspada memperhatikan sekeliling seperti siap menghadapi apapun yang datang mencelakai mereka.

27. EXT. PADANG RUMPUT – SIANG.

Mochtar bersama Lope dan Beto berjalan amat dekat. Tiba-tiba Beto berhenti. Sementara itu Lope dan Mochtar terus saja melangkah.

BETO
(berteriak)
Kakak.

BETO
(berteriak)
Mana.

Kedua orang yang berjalan di depan itu pun berhenti dan berbalik. Lope dan Mochtar berhadapan dengan Beto.

BETO
(lanjutan)
Kakak, perbatasan Dili sudah
dekat. Kita antar dia sampai
sini saja. Tidak perlu mencari
Papa. Dia pasti sudah mati.

BETO
(lanjutan)
Mana, fronteira Dili besik ona.
Ita lori nia to’o iha ne deit.
La presija buka tau apa.
Apa mate ona.

Tapi Lope kembali berbalik dan membawa Mochtar melangkah.

BETO
(menantang)
Baik, aku akan kembali sendiri.

BETO
(menantang)
Diak, hau sei fila mesek.

Beto masih berdiri memandangi punggung Lope dan Mochtar dengan wajah sedih. Tampak di matanya harapan agar Lope mau ikut dengannya. Mochtar menoleh kepada Beto lalu menyentuh pundak Lope, mereka kembali berhenti. Mochtar pun berbalik dan memandangi Beto.

MOCHTAR
(lembut)
Kami ini tentara, tidak akan
membunuh tawanan. Percayalah,
Papa kalian pasti masih hidup.
Saya janji akan mempertemukan
kalian dengannya, ikutlah dengan
kami. Nanti siapa yang akan
menjaga kakak mu kalau kau tetap
tinggal di hutan? Papa mu pasti
senang melihat kau sudah tumbuh
besar. Kalian akan tinggal di Dili,
kau belum pernah kesana kan? Di
Dili kau bisa bersekolah. Bayangkan
apa yang bisa kalian lakukan disana
bersama papa kalian.

MOCHTAR
(lembut)
Ami ne tropaz, la oho ema nebe
ami kaer. Fiar ba, imi nian aman
sei moris. Hau promote sei lori
ba hasoru imi nian aman, tuir deit
ho ami. Se mak hein O nian mana se
O iha nafatin iha ai laran? O nia
aman sei kontenti hare O bot tan,
imi hotu sei hela iha Dili, O sidauk
hare niba to’o? Iha Dili O bele
eskola. Hanoin tok saida mak imi
bele balo iha neba hamutuk ho imi
nia aman.


Beto tampak berpikir sejenak. Lama mereka saling bertatapan sebelum Lope mengulurkan tangannya. Kembali Beto tampak berpikir sejenak, Lope pun memberikan senyumnya pada Beto. Dengan langkah berat dan terpincang akhirnya Beto menyambut tangan itu. Mereka pun berjalan bersama.

BETO
(pelan)
Kita kembali ke hutan saja, Kak.

BETO
(pelan)
Ita fila deit ba ai laran deit
ona, Mana.

Tapi tidak ada jawaban sama sekali.

28. EXT. POS PENJAGAAN TNI – SIANG.

Mochtar serta Lope dan Beto berjalan di padang rumput yang menanjak. Mereka berada di jalan setapak yang membelah padang rumput itu. Begitu sampai di puncak dataran itu dan melewatinya, terlihatlah sebuah pos penjagaan. BEBERAPA TENTARA yang berjaga di pos itu segera bersiap mengarahkan senjata masing-masing ke arah mereka.


TENTARA 1
(berteriak)
Berhenti. Turunkan senjata itu.

Melihat bebeberapa senjata mengarah kepadanya, Beto tempak gemetar. Refleks ia membalas mengarahkan senapannya ke arah pos.

BETO
(takut)
kakak. Kita pergi, kak.

BETO
(takut)
Mana. Ita ba deit, Mana.

Beto agak mundur sampai tubuhnya berada di puncak daratan tinggi itu. Mochtar bergerak maju, tubuhnya sengaja dijadikan penghalang bagi Lope dan Beto. Kedua tangannya diangkat.

MOCHTAR
(gugup)
Tahan. Saya Kopral Mochtar,
batalyon 502, operasi Seroja.
Sejak ’75 tertawan fretilin.

TENTARA 1
(berteriak)
Turunkan senjata itu. Angkat
tangan kalian.

Lope mengangkat tangannya, sementara Beto masih mengacungkan senapannya ke arah pos. prajurit di pos penjagaan tampak tegang.

MOCHTAR
(gugup)
Mereka bersama saya. Ayah mereka tertawan. Saya diantar mereka kesini, sebagai balas jasa, saya berjanji mencarikan ayah mereka.

TENTARA 1
(berteriak)
Turunkan senjata itu.

Tangannya masih terangkat ke atas, Mochtar berbalik menghadap Beto.

MOCHTAR
(gugup)
Ikuti perintahnya.

Beto masih menampakkan wajah takut. Perlahan ia menurunkan senapannya. Mochtar kembali berbalik menghadap pos. tampak prajurit di pos yang meskipun masih siaga, ketegangan tersisa di wajah mereka. TERDENGAR SUARA TEMBAKAN. Punggung Mochtar berdarah, ia segera roboh. Kontan prajurit di pos melepaskan tembakan ke arah Beto yang juga langsung tersungkur.

Sekejap Lope terdiam memandangi tubuh Beto yang roboh dengan darah di dadanya, ia segera menghambur ke arah tubuh itu. Lope MENANGIS memeluk Beto. SUARA RENTETAN TEMBAKAN KE ARAH POS KEMBALI TERDENGAR.

Seorang prajurit terkena tembakan. Tampak arah tembakan itu berasal dari BEBERAPA ANGGOTA FRETILIN yang bersembunyi. Tapi arah tembakan itu terlihat oleh prajurit di pos. mereka pun balas menembak ke arah tembakan itu. Baku tembak berlangsung. Sementara dengan payah Mochtar merangkak berusaha melintasi pos, sedangkan Lope menyeret tubuh Beto untuk kembali ke hutan. SUARA TEMBAKAN TERUS SAJA TERDENGAR SAHUT MENYAHUT DARI DUA ARAH.

29. EXT. DEPAN RUMAH MOCHTAR – PAGI.

Tampak adegan tangan melepaskan gelang lalu mengenakannya pada orang lain.

ISTRI MOCHTAR
Jangan cuma gelang ini yang
kembali.

Itu adalah ISTRI MOCHTAR (22 tahun) yang memberikan gelangnya pada Mochtar. Pada halaman sebuah rumah sederhana di suatu desa, yang kecil dan tampak tidak terawat, Mochtar yang berseragam Tentara Nasional Indonesia lengkap dengan memanggul sebuah tas besar, tampak tengah berpamitan dengan Istrinya yang hamil muda dan ANAK PEREMPUANNYA (4 tahun). Mochtar memegang perut istrinya.

MOCHTAR
(tersenyum)
Saat aku kembali, anak ini
pasti sudah bisa bicara.

Mochtar berjongkok dan mendekatkan wajahnya pada anak perempuannya. Ia menepuk-nepuk pipi anak perempuannya itu.

MOCHTAR
(tersenyum)
Kau jaga adikmu.

Anak perempuannya itu hanya mengangguk. Mochtar pun kembali berdiri menghadap istrinya.

MOCHTAR
(tersenyum)
Kalau anak ini bertanya,
katakan kalau ayahnya sedang
berperang.

Istrinya pun tersenyum. Mochtar berbalik menuju pagar yang terbuat dari bambu dan membukanya. Mochtar kembali menatap istri dan anaknya sembari menutup pagar. Monchtar pun memberi hormat. Anak perempuannya melambai. Kemudian seraya memantapkan posisi tas di pundaknya, ia pun melangkah dengan tegap meninggalkan rumahnya. Sementara istri dan anak perempuannya terus memandangi kepergian Mochtar.

30. EXT. POS PENJAGAAN TNI – SIANG.

Gerakan Mochtar yang merangkak dengan lemah menuju pos perbatasan terhenti. Ia mati dengan tangan kanan menjulur ke depan. Sedangkan DENGAN SUARA TANGISAN TERTAHAN Lope masih saja memeluk tubuh Beto yang sekarang telah kaku penuh darah.

Tampak prajurit di pos dan anggota fretilin yang bersembunyi sedang gencatan senjata. Suasana sunyi tanpa satupun tembakan terdengar.

SELESAI