Malam itu, Presidan merasakan gatal yang disertai perih pada sela jari-jari kakinya. Presiden terkena kutu air. Ia amat gelisah dengan selalu menggaruk kakinya, hingga membuatnya tidak bisa tidur, sedangkan besok pagi akan digelar rapat bersama sejumlah Menteri kabinet untuk membahas tentang pelunasan hutang luar negeri. Sekali lagi Presiden menggaruk kakinya dengan gemas.
Presiden menganggap kutu air bukanlah penyakit yang pantas baginya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh rakyat jika hal ini tersebar. Setelah berpikir keras, hasilnya adalah ia harus merahasiakan penyakit itu dari siapa pun. Ketika istrinya terbangun, sambil menyembunyikan kakinya di balik selimut tebal, Presiden menjawab dengan semangat luar biasa dan mimik yang berlebihan.
“Aku sedang merencanakan satu hal besar untuk bangsa.”
“Apa itu?” istrinya bertanya.
“Masih abstrak, jadi sulit dijelaskan.”
Istrinya berbalik untuk tidur membelakanginya. Presiden menggaruk kakinya dengan lebih gemas lagi.
Dua hari sebelumnya Ibukota dilanda banjir besar, bahkan Istana Negara pun sampai terendam. Presiden bersama Menteri terkait sengaja memantau ke beberapa lokasi yang kondisinya dianggap cukup parah. Dari atas perahu karet tentara, Presiden melambaikan tangannya ke arah para korban yang mengungsi ke atap rumah masing-masing. Tiba-tiba Presiden teringat masa kecilnya karena melihat air kecoklatan di sekelilingnya.
Di kampungnya dulu, tepatnya sebelum ia disunat, Presiden gemar sekali berenang di kali yang bening. Melompat dari ketinggian tanpa pakaian untuk bersenang-senang sepulang dari sekolah. Berlomba siapa yang paling lama menahan nafas di dalam air, atau banyak-banyakan buang air kecil. Ia sadar kalau sudah lama tidak melakukannya. Presiden harus menahan hasratnya untuk menceburkan diri saat itu. Ia mengulurkan tangannya menyentuh air kecoklatan, dan merasakan dingin yang sama dengan air bening di masa kecilnya. Presiden segera mengakhiri kunjungannya.
Ulah Presiden membuat seluruh pengawalnya kerepotan. Beberapa ada yang menjaga di gerbang agar tidak ada wartawan atau orang lewat yang melihat, sementara sisanya harus menuruti perintah untuk berenang bersamanya di halaman istana. Dengan hanya bercelena pendek, Presiden menantang para pengawalnya adu cepat keliling istana memakai gaya punggung di air kecoklatan. Ia memang seorang Presiden yang sehat, terbukti dari tidak ada satu pun pengawal yang dapat menyusulnya walau telah mengeluarkan segenap kemampuan mereka.
Meskipun istrinya telah melarang, Presiden tetap belum rela menyudahi kenangan masa kecilnya. Bukannya membersihkan diri sehabis berenang seperti para pengawalnya, Presiden malah memancing dengan kaki yang sengaja direndam di air kecoklatan sampai jauh malam. Banjir membuat semua ikan peliharaan di kolam istana lepas. Hasil memancingnya hari itu tidak hanya dua ekor Gurame, tapi juga gatal disertai perih pada sela jari-jari kakinya.
Tidak ada satu pun wartawan yang diperkenankan meliput. Yang mereka tahu rapat kali ini tertutup. Presiden memimpin rapat dengan berkali-kali meminta izin ke kamar kecil. Itu dilakukannya untuk sekedar melepas sepatu lalu menggaruk bagian yang gatal, kemudian kembali lagi. Karena terlalu sering, peserta rapat yang terdiri dari sejumlah Menteri dan pengusaha jadi curiga. Tapi tiap mereka menatapnya, Presiden membalas dengan matanya yang khas, yang mengingatkan mereka pada kuasanya.
Menyadari kecurigaan peserta rapat dan ketidakmungkinannya untuk balik lagi ke kamar kecil, dengan ketenangan luar biasa Presiden berkata kepada Menteri Dalam Negeri.
“Tolong panggil Gubernur Ibukota untuk menghadap saya sekarang juga.”
“Yang saya tahu saat ini beliau sedang rapat untuk menanggulangi banjir bersama jajarannya, Pak.” jawab Menteri Dalam Negeri.
“Sekalian suruh mereka ke sini juga. Sekarang. Saya ingin tahu apa yang mereka rapatkan.” tegas Presiden.
Maka Menteri Dalam Negeri berbisik pada asistennya yang langsung mengangguk-angguk.
Rombongan Gubernur Ibukota tiba di hadapan Presiden untuk segera dimintai laporan. Menurut Gubernur Ibukota, rapat yang mereka gelar baru berlangsung beberapa menit sebelum diminta menghadap ke Presiden sehingga belum ada hasilnya. Jawaban Presiden sangat mengejutkan, karena dianggap tidak tangkas dalam mengatasi banjir, Gubernur Ibukota dipecat dan diganti oleh wakilnya yang dilantik saat itu juga. Presiden tahu betul bukan itu alasannya, melainkan karena kutu air yang dideritanya, yang ia anggap sebagai kesalahan Sang Gubernur, hanya saja ia tidak bodoh untuk mengakui yang sebenarnya.
Juru Bicara Kepresidenan mengumumkan hasil rapat kepada para wartawan yang sudah menunggu. Mengenai dipecatnya Gubernur Ibukota karena dianggap kurang tanggap mengatasi banjir. Ketika salah satu wartawan bertanya tentang pelunasan hutang luar negeri, Juru Bicara Kepresidenan terdiam. Ia baru ingat kalau awalnya tujuan diadakan rapat oleh Presiden adalah untuk membahas hal itu, tapi ia bingung sendiri mengapa rapat tadi sama sekali bukan itu yang dibahas.
Butuh waktu lama untuk terus diam sebelum Juru Bicara Kepresidenan mengabarkan bahwa tahun depan semua hutang luar negeri telah lunas. Waktu yang lama tadi juga ia gunakan untuk mencari jawaban jika tahun depan hutang yang dimaksud belum lunas. Ia berharap tahun depan masih mengingatnya jika hal itu benar terjadi sehingga wartawan bertanya kepadanya.
Tidak ada satu pun yang mengetahui dengan jelas bagaimana cara seisi istana menyadari kutu air yang diderita Presiden. Tukang bersih-bersih, juru masak, dan bahkan pengawal istana ramai-ramai membicarakannya. Jelas bukan dia apabila tidak bisa mendengar sendiri desas-desus terhadapnya, maka Presiden mengumpulkan seisi istana untuk menunjukkan kutu airnya. Saat itu warna merah yang terasa gatal dan perih sudah menyebar cukup luas. Tidak ada satu pun yang berani tertawa ketika Presiden menegaskan bahwa hal ini adalah sebuah rahasia negara.
Dokter Kepresidenan yang memeriksanya pun terkejut. Sambil tersenyum ia menyalahkan Presiden karena telah lama menyembunyikannya. Wajah Presiden saat itu amat dingin, lagi-lagi dengan matanya yang khas, yang mengingatkan Dokter Kepresidenan pada kuasanya. Dihapusnya senyum itu, berganti dengan keseriusan yang pura-pura. Untuk menyembuhkan kutu air yang sudah pada tingkat akut itu, Dokter Kepresidenan sengaja melebihkan dosis yang seharusnya. Ia baru bisa tertawa sepuasnya setelah keluar dari istana.
Sama sekali bukan rencananya, sempat terpikirkan pun tidak, bahkan ia harus mengaduk isi kepalanya untuk mengingat ketika seorang teman sekolahnya menyapa. Untuk merayakan pertemuan itu, Dokter Kepresidenan mengajaknya ke sebuah kedai minuman. Mereka kembali muda dalam beberapa gelas. Membicarakan salah satu bagian tubuh spesifik seorang kakak kelas perempuan di sekolah dulu sambil terus memesan minum lagi.
Kepalanya terasa berat sehingga meski mulutnya tidak berhenti bicara, Dokter Kepresidenan tidak sanggup mengangkatnya dari meja. Ia pun bercerita tentang kutu air yang diderita Presiden dengan tawa yang lebih keras dari saat pertama keluar istana. Teman sekolahnya yang masih sedikit sadar itu mencatat. Kegembiraan bertemu teman lama rupanya membuat Dokter Kepresidenan lupa untuk bertanya apa kesibukannya sekarang.
Esok paginya Presiden dikejutkan oleh berita utama di salah satu koran nasional. Ia marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, dengan patriotisme seorang pemimpin bangsa, Presiden memberikan keterangan pers di depan wartawan mengenai penyakitnya. Segera saja berita ini makin meluas sampai ke pelosok yang biasanya miskin informasi. Keterangan pers itu juga dipakai untuk menyampaikan sayembara yang isinya akan memberikan hadiah besar bagi orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya itu.
Segenap anak bangsa yang cerdas yang menuntut ilmu jauh ke negeri orang dan sakti dari wilayah yang kurang terjamah pun datang menghadap. Cara tradisional dan modern ditempuh. Buku ensiklopedia tentang kutu air yang hanya ada di perpustakaan sebuah negara maju pun sengaja di fotocopy.
”Ambil singkong yang masih muda, baru dipetik dari batangnya, lalu kulitnya dikupas dan diparut. Setelah itu tempelkan parutan tersebut pada bagian yang kena kutu air. Jika parutan yang ditempelkan itu sudah mengering maka gantilah dengan parutan yang baru, dengan cara seperti yang di atas, mudah-mudahan kutu air akan sembuh singkat kira-kira 2 hari.”
”Untuk pengobatan secara tradisional, anda bisa mencoba buah mengkudu, morinda citrifolia. Untuk dihaluskan kemudian tempelkan pada bagian kaki yang terkena kutu air setelah dibersihkan. Biarkan mengering, kemudian bersihkan dengan air hangat. Ulangi sesering mungkin.”
”Rendamlah kaki yang terkena kutu air dengan teh hangat selama setengah jam setiap hari sekali.”
Tapi hasilnya nihil. Kutu air presiden bertambah parah. Ia hampir mengalami depresi yang berat. Untunglah ia bertemu dengan seorang motivator handal yang menasehatinya untuk tetap bekerja demi rakyat dengan cara menyingkirkan pikiran tentang penyakit yang dideritanya. Rupanya Presiden terlecut oleh kalimat bekerja demi rakyat yang dilontarkan oleh motivator itu. Ia mulai meninggalkan obat yang harusnya ia minum agar bisa sembuh. Gatal disertai perih pada sela jari-jari kakinya pun mulai dapat ia nikmati sebagai sensasi yang mengagumkan.
Presiden tetap melaksanakan tugas-tugasnya terhadap rakyat dan negara meski dengan kutu air di sela jari-jari kakinya. Koran selalu memujinya dengan menyebutnya sebagai Presiden yang mencintai rakyatnya. Kutu air menjadi penyakit yang dibanggakan, barang siapa terkena kutu air berarti ia hebat. Simpati dari rakyat pun bertambah besar, pamornya bahkan telah melebihi salah seorang mantan Presiden yang dianggap sebagai Bapak Bangsa. Bukan hanya foto wajahnya yang laku keras, tapi juga foto sepasang kaki dengan kutu air lebar juga terdapat di mana-mana.
Penjara segera dipenuhi oleh orang-orang yang memalsukan foto itu. Mereka sengaja mencari orang yang terkena kutu air lalu memotret kakinya. Bagi yang tidak cermat akan mudah saja tertipu ketika membelinya. Seorang pakar telematika yang terkenal saja sulit untuk membedakan mana foto kaki asli Presiden atau bukan. Rakyat jadi resah karena ragu jangan-jangan foto yang mereka miliki palsu.
Terbitnya buku hasil penelitian seorang mahasiswa terhadap foto-foto kaki Presiden dengan kutu air pada akhirnya membuat rakyat merasa tenang. Cara paling mudah untuk membedakannya adalah dari jempolnya. Bentuk jempol kaki kiri Presiden begitu unik, sedikit bengkok dan agak lebih lebar. Maka bila ada foto sepasang kaki dengan kutu air lebar yang jampol kaki kirinya tidak seperti itu pasti palsu. Ini membuat polisi lebih mudah untuk menciduk orang-orang yang menjual foto kaki presiden yang tidak asli.
Satu hari Presiden menyadari kutu air di kakinya mulai mengering. Gatal disertai perih di sela jari-jari kakinya berangsur hilang. Presiden kembali membuat sayembara. Hanya saja kali ini rahasia sehingga yang dipanggil untuk menghadap ke istana adalah orang-orang yang pernah berusaha menyembuhkannya.
”Saya ingin kalian mencari cara agar kutu air saya ini tidak pernah sembuh.” kata Presiden dengan singkat dan dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar