Jumat, 11 Juni 2010

TAPAL BATAS

1. INT. HUTAN – SORE.

Hujan. Terlihat beberapa kali ledakan yang menghasilkan DENTUMAN KERAS, mungkin berasal dari meriam atau mortir, di latar belakang yang dipenuhi pepohonan lebat. Selain itu terdapat pula sejumlah RENTETAN SENAPAN yang tampak berasal dari dua arah. Baru kemudian jelas, arah tembakan itu berasal dari dua orang bersenapan. Jarak mereka cukup jauh satu sama lain. Baku tembak yang terjadi diantara mereka berjalan amat sengit.

Berlari cepat menenteng senapan sambil sesekali melepas rentetan, RAHMAD, 30 tahun, anggota TNI berpangkat serda. Ia berpostur tinggi dengan bahu tegap, mengenakan pakaian perang lengkap. Rahmad tengah berhadapan dengan seseorang. JOAO, 30 tahun, serdadu fretelin bersenjata melesat ke dataran landai untuk tiarap dan bersiap melepas tembakan.

Sebelah matanya mengatup saat peluru-peluru keluar dari senapannya. Rautnya terlihat keras, dengan rambut semrawut dan kulit berwarna gelap. Tembakan yang dilepaskannya dibalas dengan segera dan hampir mengenainya. Itu membuatnya bangkit dan menjauh, sementara dari arah belakangnya peluru-peluru lain terus mengejarnya.

Baku tembak antara Rahmad dan Joao terus berlangsung. Rahmad bertambah cepat mengejar Joao yang berupaya lari. Joao harus sembunyi dibalik pohon maupun gundukan tanah demi agar tubuhnya tidak tertembus peluru Rahmad. Itu memaksanya untuk balas menembaki Rahmad yang semakin mendekat dan tidak juga berhenti memuntahkan peluru dari senapannya. Satu peluru hampir mengenai Rahmad, ia BERTERIAK, sambil melompat dan bersembunyi di balik sebatang pohon yang disekitarnya lebat oleh semak.

Mendengar teriakan Rahmad tadi, Joao terdiam dan sejenak menatap ke arah semak. Wajahnya nampak bersemangat, kemudian dengan perlahan Joao bergerak ke samping beberapa langkah sebelum maju mendekati semak itu. Agak terengah-engah Rahmad menunggu sambil memastikan posisi senapannya sementara LANGKAH KAKI JOAO TAMBAH DEKAT.

Rahmad segera berdiri dan menembak, Joao kaget dan refleks membalasnya. Saling tembak kembali berlangsung seru. Masing-masing mencoba melumpuhkan satu sama lain, tapi peluru mereka tidak ada yang mengenai sasaran. Senapan Joao tidak lagi memuntahkan peluru, ia tampak gelagapan, kemudian melarikan diri dengan cepat.

2. EXT. HUTAN – SORE.

Rahmad segera mengejarnya dengan peluru yang terus meluncur. Joao melaju dengan kecepatan tinggi menuruni lembah kecil yang terlihat berupa kubangan berlumpur. Ia bergerak menyeberanginya, sedangkan Rahmad seolah tidak akan melepasnya dan terus menembak. Rahmad baru saja tiba di tepi lembah itu ketika kaki kanannya menginjak ranjau.

Wajah Rahmad tampak ketakutan saat menyadari itu, ia pun hanya bisa terpaku. Bahkan tidak mengetahui kalau Joao tengah bersembunyi setelah menoleh ke belakang dan dilihatnya Rahmad tengah menatap kakinya sendiri. Hujan berhenti, dan sepi.

Beberapa lamanya mereka berdiam diri. Rahmad dengan wajah pasrah sesekali melepaskan tembakan ke arah yang tidak jelas sambil memperhatikan sekeliling, sedangkan Joao terlihat penasaran dengan apa yang sedang dialami oleh Rahmad tapi masih terlalu takut untuk menampakkan diri. Untuk waktu yang cukup lama sekali tidak ada sesuatu pun yang mereka lakukan.

Sampai kemudian Joao mengeluarkan kepalanya dari balik pohon dan Rahmad yang melihatnya segera menembak meski luput. Wajah Joao terlihat senang sebelum berlari ke pohon lain. Rahmad memuntahkan pelurunya lagi tanpa bergeser sejengkal pun. Ini pun luput, membuat Joao segera bangkit. Sontak Rahmad kembali menembak. Rentetannya nyaris mengenai Joao, tapi ia selalu bisa menghindar dengan beralih dari balik pohon satu ke pohon lain lalu bersembunyi.

JOAO
(teriak)
Ayo kejar. Jangan berdiri saja.

Joao bergerak ke arah samping, sementara Rahmad tetap menembakinya meski sesekali karena tampak takut melakukan gerakan yang membahayakan nyawanya.

JOAO
Bukannya tadi kamu ingin membunuh
saya?

Tembakan Rahmad kembali luput, Joao bersandar di balik gundukan tanah tinggi. Nafasnya terengah-engah.

JOAO
Meleset terus? Kamu ini tentara atau
petani?

Wajah Rahmad tampak kesal, ia memberondong ke arah Joao yang bersembunyi tapi hanya mengenai gundukan tanah itu. Sejenak Rahmad mengistirahatkan senapannya, dan kesempatan itu digunakan oleh Joao untuk berlari. Terlihat Joao terus saja bergerak ke arah samping sampai tiba tepat di belakang Rahmad, sedang Rahmad tetap mengikuti pergerakan Joao, namun hanya senapan dan bagian atas tubuhnya saja sementara posisi kakinya sama sekali tidak bergerak.

Rahmad kesal, dengan memutar tubuh bagian atasnya, ia berusaha terus memuntahkan peluru dari senapannya ke arah Joao yang selalu bisa menghindar hingga membuatnya makin bernafsu menembak. Sampai kemudian peluru dalam senapan Rahmad habis. Joao pun baru berani menampakkan dirinya dan perlahan mendekati Rahmad dengan mengacungkan senapannya lalu berhenti di jarak yang dianggapnya aman untuk ledakan ranjau. Wajah Rahmad terlihat pasrah, jelas ada percampuran antara takut dan marah.

JOAO
Kalau pipi kananmu ditampar, berikanlah
pipi kirimu. Saya sudah melakukan itu,
tapi kamu malah menyia-nyiakannya.

RAHMAD
(marah)
Bunuh saja saya.

Joao menurunkan senapannya.

JOAO
Saya tidak punya peluru lagi. Biar
ranjau itu yang melakukannya.

Joao baru saja duduk ketika tiba-tiba Rahmad meraih HTnya. Dengan gerakan cepat Joao membuat HT itu terjatuh ke tanah yang berair dengan satu timpukan ke tangan Rahmad. Wajah kedua orang itu terlihat tegang, Joao menginjaknya berkali-kali sampai hancur.

JOAO
Berteriaklah sekerasnya. Ternyata kamu
takut mati. Saya akan menemani kamu.
Mungkin saya bisa membacakan doa untukmu.

Rahmad tampak pasrah, seluruh tubuhnya melemas. Dari matanya memancarkan keputusasaan dari kenyataan bahwa hidupnya segera berakhir. Joao telah duduk meluruskan kakinya dan bersiap rebah.

JOAO
Saya lelah, berbulan-bulan dihutan
menghadapi kalian.
(memejamkan mata)
Bangunkan saya kalau keberanian kamu
kembali. Saya mau lihat tubuh kamu
hancur berkeping-keping.

Rahmad hanya bisa terdiam dengan wajah sedih. Dilihatnya langit dan hutan serta menghirup nafas dalam-dalam untuk waktu yang cukup lama, sebagai upaya untuk melenyapkan rasa putus asanya. Sambil sesekali memperhatikan Joao yang kerap mengibaskan tangannya guna mengusir serangga-serangga kecil yang mengganggu tidurnya.

Setelah berlangsung beberapa saat, karena tidak juga bisa lelap oleh serangga, Joao pun bangkit dengan wajah kesal. Ia melihat langit yang mulai merah sebelum menatap Rahmad dengan sesuatu yang dipikirkannya.

JOAO
(marah)
Pengecut.

Joao mengambil sebuah batu lalu menimpuk tubuh Rahmad dengan keras. Batu itu mengenai perut Rahmad yang berusaha untuk menahan suaranya meski dari wajahnya bisa dilihat sakit yang ia rasa. Melihat Rahmad tidak juga bergerak, Joao mengulanginya lagi.

JOAO
Apa yang kamu tunggu?

Rahmad masih tidak bergerak dengan mulut tertutup menahan sakit.

JOA0
Tidak ada yang bisa menolongmu.

Joao bertambah kesal dengan kembali menimpuki Rahmad beberapa kali ke bagian tubuh yang berbeda-beda.

JOAO
Sekarang atau nanti sama saja. Kamu
pasti tahu ranjau jenis apa itu.

Rahmad terlihat kesakitan dengan memegangi bagian tubuhnya yang terkena batu. Joao seperti memberi waktu kepada Rahmad dengan terus saja menatapnya. Ia bergerak mengambil sebatang ranting panjang dan menggunakan itu untuk mendorong tubuh Rahmad.

JOAO
Berani datang kesini tapi tidak siap
mati.

Namun Rahmad mencoba bertahan dengan menggeser kaki kirinya ke belakang, sementara kaki kanannya tidak bergerak. Ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya Joao berhenti. Hari berangsur gelap.

JOAO
Percuma. Mungkin saya memang tidak
bisa melihat kamu meledak.

Joao berjalan melewati Rahmad dan pergi. Rahmad terlihat sedih dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat kepergian Joao. Sementara itu matahari telah tidak nampak.

RAHMAD
(teriak)
Hei.

Joao menoleh. Terlihat olehnya Rahmad tidak lagi menggigil, ia pun berbalik.

RAHMAD
Ambilkan ransum di tas saya ini.
saya lapar.

JOAO
Berusahalah sendiri.

Joao melanjutkan perjalanannya. Rahmad tampak berpikir sejenak.

RAHMAD
Setelah itu saya akan melakukannya.

Joao menoleh lagi, ia terlihat menimbang-nimbang beberapa saat sebelum akhirnya berjalan ke arah Rahmad. Sampai disana Joao membuka tas Rahmad dan mengeluarkan ransum dari dalamnya. Saat akan menyerahkannya, Rahmad langsung memeluk tubuh Joao. Kini tubuh mereka menempel. Rahmad tampak senang, sedangkan Joao terlihat menyesal.

RAHMAD
Kita mati bersama.

3. EXT. HUTAN – MALAM.

Gelap. Rahmad masih memeluk tubuh Joao.

RAHMAD
Jao

JOAO
Joao

RAHMAD
Jao

JOAO
Joao. J-O-A-O. Joao.

RAHMAD
Oh, Joao.

JOAO
Ya, Joao.

RAHMAD
Joao.

JOAO
Apa pangkat kamu?

RAHMAD
Serda.

RAHMAD
Serda Rahmad.

Mereka diam untuk beberapa saat. Sesekali Joao bergerak-gerak.

RAHMAD
Terus saja bergerak-gerak. Kamu akan
membuat kita mati.

JOAO
Maaf. Sudah malam begini apa bakal
ada yang lewat?

RAHMAD
Siapa suruh merusak HT itu? Sekarang
kamu menyesal.

JOAO
Kalau tidak saya rusak kamu akan
memanggil bantuan dan saya pasti
terancam.

RAHMAD
Tapi kalau itu tidak kamu lakukan
pasti kita sudah tertolong. Kamu
tidak berpikir panjang.

JOAO
Memang kamu tahu kita akan mengalami
ini?

RAHMAD
Setidaknya kita masih punya HT.

JOAO
Masih saja berharap.

RAHMAD
Bohong kalau kamu tidak berharap
ada yang akan menyelamatkan kamu.

JOAO
Saya siap mati.

RAHMAD
Tidak mungkin.

JOAO
Terserah.

RAHMAD
Dasar orang hutan.

JOAO
Apa?

RAHMAD
Tidak.

JOAO
Kamu bilang apa tadi?

RAHMAD
Saya tidak bilang apa-apa.

JOAO
Kamu bilang saya orang hutan.

RAHMAD
Tidak.

JOAO
Dasar pengecut.

RAHMAD
Memang saya pengecut.

JOAO
Mengaku juga kamu akhirnya.

Mereka kembali terdiam untuk waktu yang lama. Sesekali menggigil karena kedinginan. Tampak Rahmad yang matanya terkadang terpejam tapi kembali berusaha membukanya lagi, ia terlihat mengantuk. Joao mengetahui itu, dan dari wajahnya tampak ia memikirkan sesuatu. Sekali lagi mata Rahmad terpejam, dan kembali ia berupaya membukanya.

RAHMAD
Sudah berapa lama kamu di hutan ini?

JOAO
Sejak kedatangan kalian. Hampir satu
tahun.

RAHMAD
Keluarga kamu?

JOAO
Mana ada orang perang ngajak keluarga?

RAHMAD
Maksud saya apa kamu punya keluarga?

JOAO
Punya. Mereka terpaksa saya tinggal,
demi menghadapi kalian.

RAHMAD
Siapa yang memaksa kamu?

JOAO
Tidak ada.

RAHMAD
Tadi katanya kamu terpaksa.

JOAO
Saya harus berjuang demi tanah ini
agar merdeka.

RAHMAD
Merdeka dari apa?

JOAO
Dari jajahan kalian.

RAHMAD
Kita sama-sama orang Indonesia kan?

JOAO
Kalian yang Indonesia. Kami bukan,
kami orang Lorosae.

RAHMAD
Sejak tadi kamu selalu membeda-bedakan.

JOAO
Kamu tidak lihat? Kita memang beda.

RAHMAD
Tapi kita satu bangsa.

JOAO
Bukan. Kita beda.

RAHMAD
Rupanya itu yang membuat saya harus
datang berperang ke sini, Cuma karena
kalian merasa berbeda.

JOAO
Bukan itu saja.

RAHMAD
Lalu?

JOAO
Kalian pilih kasih. Kami disini
seperti anak tiri. Malah seperti
jajahan. Kekayaan kami diambil
terus, tanpa peduli kesejahteraan.
Diperlakukan seperti itu mana ada
yang mau?

RAHMAD
Jadi jelas sekarang. Itu alasan kamu,
sedangkan saya, menjaga keutuhan NKRI
adalah tugas tentara. perang ini
memang wajar.

JOAO
Tidak ada yang aneh. Kami ingin merdeka,
kalian menghalanginya. Selesai.

Mereka kembali terdiam untuk waktu yang lama. Beberapa kali Rahmad terpejam sesaat, Joao terus memperhatikannya. Ia seperti bersiap melakukan sesuatu. Sampai akhirnya Rahmad tertidur, Joao berhasil melepaskan diri. Rahmad terbangun dengan kaget. Dilihatnya Joao lari ke belakang.

JOAO
(teriak)
Merdeka.

RAHMAD
(teriak)
Joao.

Joao terus saja berlari sampai ia tidak bisa melihatnya lagi.

RAHMAD
Joao.

TERDENGAR SUARA ORANG TERJATUH. Rahmad tampak sedih. Ia jadi sendirian.

RAHMAD
Joao. Joao. Joao.

Tidak ada jawaban sama sekali. Rahmad terlihat sudah menyerah. Ia terdiam dengan menundukkan kepala. Wajahnya memelas, tubuhnya menggigil.

4. EXT. HUTAN – PAGI.

Matahari sudah muncul. Hutan jadi terang. Dan pagi pun BERSUARA. Rahmad nampak terkantuk-kantuk sambil berdiri. Ia terus berupaya terjaga sejak malam. Matanya memerah karena belum tidur. Ia baru selesai buang air kecil dan tengah menaikkan resleting celananya. Digerakkannya leher ke kanan dan ke kiri, sebuah senam kecil. Lalu memutar tubuh bagian atasnya ke belakang.

Saat itulah ia melihat Joao menelungkup. Karena tidak yakin, Rahmad mencoba memperjelas pandangannya dengan mengucek kedua matanya. Dan ia mendapati hal yang sama, Joao menelungkup jauh dibelakangnya. Tampak di kedua pipi Joao kotor oleh lumpur. Posisi mereka berjauhan dan tidak saling berhadapan.

RAHMAD
(teriak)
Mampus lah kamu. Itu namanya senjata
makan tuan.

JOAO
Bukan kami yang memasang ranjau ini.

RAHMAD
Lalu siapa? Apa bisa tumbuh sendiri?

JOAO
Pasti kalian.

RAHMAD
Kalau tahu ada ranjau, saya tidak
akan berani mengejar kamu sampai
sini kemarin. Jadi pasti kalian.

JOAO
Asal kamu tahu, tempat ini jarang
didatangi. Sama sekali tidak pernah
terpikir untuk baku tembak ditempat
ini. bukan kami, berarti kalian.

RAHMAD
Apalagi kami, hutan ini kan kandang
kalian. Yang pasti antara kami atau
kalian.

JOAO
Pasti. Kalau tidak kalian, ya kami.
Tapi siapa?

RAHMAD
Tidak tahu. Saya yakin kalian.

JOAO
Tidak mungkin. Pasti kalian.

Mereka terdiam untuk waktu yang lama. Sangat sedikit gerakan yang bisa mereka lakukan. Rahmad yang terkantuk-kantuk hanya dapat menggerakkan bagian atas tubuhnya sementara ia terlihat lelah berdiri. Sedangkan Joao yang menelungkup Cuma bisa menekuk lututnya, selain itu ia hanya bisa menggerakkan lehernya ke arah kanan dan kiri untuk ditempelkan ke tanah. Kalau sudah lama ke kiri, maka ia akan memindahkannya ke kanan.

RAHMAD
Kamu enak bisa tidur.

JOAO
Tapi tidak bisa kencing seperti kamu.
Lihat ini, celana saya basah. Kamu iri?

RAHMAD
Tidak. Untung tentara, berdiri dan
tidak tidur selama apapun saya kuat.

JOAO
Akhirnya kamu bisa bersyukur juga.

Rahmad menunduk guna meraih ransumnya yang semalam terjatuh. Dibukanya dan mulai makan. Joao memperhatikannya. Lalu ikut memakan bekalnya.

JOAO
Kamu mau daging?

RAHMAD
Boleh.

JOAO
Tangkap. Saya tidak akan memberikannya
lagi.

Joao melepas daging bekalnya dan melempar ke arah Rahmad yang siap menangkap. Daging itu terbang, tapi Rahmad tidak bisa menangkapnya dan daging itu jatuh jauh dari kakinya.

JOAO
Saya selalu menepati janji.

Rahmad terlihat sedih. Ia hanya bisa memakan bekalnya dengan tidak berselera sambil melihat Joao yang makan dengan lahap. Sesekali Joao melihat Rahmad yang malas menelan, ia pun melepas satu potong daging lagi.

JOAO
Bekal kita tinggal sedikit. Kamu
jangan membuangnya.

Rahmad kembali bersiap menangkap. Joao melempar daging itu, kali ini Rahmad berhasil menangkapnya.

RAHMAD
Apa bahasa tetumnya terima kasih?

JOAO
Obrigado.

RAHMAD
Obrigado, Joao.

JOAO
Sama-sama.

RAHMAD
Apa itu?

JOAO
Sama-sama.

RAHMAD
Oh.

Mereka kembali makan. Sesekali terlempar senyum diantara mereka. Kali ini Rahmad tampak makan dengan lahap.

RAHMAD
Apa kenyang Cuma makan daging?

JOAO
Tidak. Tapi mau apa lagi? Cuma ini
yang saya bawa.

Rahmad menghentikan makannya.

RAHMAD
Tangkap. Saya sudah kenyang.

Rahmad bersiap melempar ransumnya ke arah Joao yang terlihat mengulurkan tangan.

JOAO
Tutup dulu, nanti tumpah.

RAHMAD
Oiya.

Rahmad menutup ransumnya terlebih dahulu sebelum melemparnya ke arah Joao. Ransum itu jatuh tepat di depan wajah Joao. Ia segera membukanya.

JOAO
Mau lagi?

RAHMAD
Buat nanti saja. Tinggal dikit kan?

Joao mulai makan isi ransum pemberian Rahmad dengan daging bekalnya.

JOAO
Tidak enak.

RAHMAD
Mana ada bekal tentara enak?

Mereka TERTAWA. Joao makan dengan lahap sampai isi dalam ransum itu habis. Untuk beberapa saat kedua orang itu terdiam. Saling melakukan gerakan terbatas untuk menghilangkan pegal. Wajah mereka tampak bosan.

RAHMAD
Kamu pernah dengar cerita tentang
perjalanan seorang prajurit TNI dengan
dua anak kecil Timor ke perbatasan Dili?

JOAO
Sepertinya Belum. Coba ceritakan.

RAHMAD
Saya dengar dari beberapa orang yang
menceritakan sebagian, kebanyakan
tidak jelas. Jadi saya yang merangkainya
sendiri.

JOAO
Tak apa.

RAHMAD
Sekitar tahun 70an. Waktu Timor belum
jadi bagian dari Indonesia. Ada seorang
prajurit TNI berpangkat kopral, namanya
Mochtar. Ketika bergerilya di hutan, ia
ditangkap oleh fretilin. Selama hampir
satu tahun disekap, ia selalu mendapat
penyiksaan sampai gigi depannya hancur.
Satu ketika Mochtar berhasil lari.
Dengan tangan terikat ia berusaha
menghindari kejaran beberapa fretilin
yang berusaha membunuhnya. Tapi tembakan-
tembakan itu tidak pernah mengenainya.
Mochtar berlari terus dengan ketakutan,
naluri bertahan hidupnya membuat ia
secapat kijang. Naik turun gundukan atau berlindung di balik pohon, nafasnya
tersengal. Ia melihat fretelin yang
mengejarnya makin dekat, Mochtar pun
berlari menuju ke dataran tinggi di
depannya. Tapi ia tidak mengetahui
kalau itu adalah mulut jurang. Maka
tubuhnya jatuh berguling ke sungai.
Fretelin yang mengejarnya terus melepas
tembakan ke jurang. Sampai mereka yakin
Mochtar sudah mati. Kamu yakin belum dengar cerita ini?

JOAO
Belum. Teruskan.

RAHMAD
Begitu terbangun, dengan kepala perih,
didepannya sudah berdiri dua anak kecil.
Kakak beradik itu bernama Lope dan Beto.
Lope perempuan, mungkin 15 tahun,
mengacungkan senapan. Sedangkan Beto
laki-laki, ia menghunus pisau. Tahu
Mochtar orang Indonesia, Beto berusaha membunuhnya, namun dilarang oleh Lope
yang bisu dengan isyaratnya. Mochtar
mengaku sebagai pedagang, tapi Beto
sama sekali tidak percaya kepadanya.
Ia diperlakukan seperti tawanan oleh
kedua anak itu, memberi makan atau
minum dengan cara dilempar ke tanah.
Tangan Mochtar pun masih terikat.

JOAO
Kedua anak kecil itu kenapa tinggal
dihutan?

RAHMAD
Jangan dipotong dulu. Nanti saya lupa.

JOAO
Maaf.

RAHMAD
Mochtar meminta mereka untuk diantarkan
ke Dili. Tentu Beto menolak karena takut
dan tidak percaya kepadanya, tapi Lope
tampak senang mendengar kata Dili. Beto
tetap tidak mau meninggalkan hutan itu,
sedangkan Lope karena mendengar janji
Mochtar yang akan melakukan apapun
setelah ia diantarkan ke Dili, tetap
bersikeras. Perempuan bisu itu pun
tertidur dengan memeluk senapannya,
sementara Beto terus mengawasi Mochtar
dengan tatapan tajam sambil memainkan
pisaunya. Pagi harinya Lope dan Mochtar
siap untuk berangkat, sedangkan Beto masih
tetap tidak mau ikut mereka. Mochtar
berharap agar Beto mau ikut dengan mereka,
karena tidak tega meninggalkan seorang
anak kecil sendirian di hutan. Lope pun mengacungkan senapannya ke arah Mochtar
sebagai tanda untuk menyuruhnya mulai
melangkah. Dengan lemas Mochtar menurut
saja. Setelah agak jauh Beto berteriak,
‘dia pasti sudah mati, kak’. Tapi Lope
tidak mengindahkannya.

JOAO
Dia siapa?

RAHMAD
Sabar. Mau dilanjutin nggak?

JOAO
Mau. Mau.

RAHMAD
Waktu Lope dan Mochtar berjalan, mereka
mendengar ada suara yang mengikuti. Lope membiarkannya dan menekan ujung senapan
ke tubuh Mochtar untuk tetap berjalan.
Sampai ketika suara itu mendekat, Lope
menyuruh Mochtar bersembunyi. Lama mereka menunggu sampai orang yang mengejarnya
itu dekat, dan begitu mereka bangkit,
ternyata Beto yang mengikuti mereka.

JOAO
Saya sudah menebak.

RAHMAD
Cerewet. Udah ah.

JOAO
Maaf. Maaf. Saya nggak ngomong lagi deh.
Tolong lanjutkan.

RAHMAD
Kalau ngomong lagi, saya janji nggak
mau nerusin cerita ini.

JOAO
Iya.

RAHMAD
Sekarang mereka bertiga. Mochtar dengan
tangan terikat berjalan di depan,
dibelakangnya Beto dan Lope yang
mengacungkan senapan. Melihat ada pohon
besar tumbang, Beto senang dan langsung
berlari melompati. Ia berhasil, Lope dan
Mochtar tertawa. Tapi Beto berterik,
mereka kaget dan berlari menghampirinya.
Kaki Beto berdarah tertusuk jebakan
binatang, ia pun menangis sekerasnya.
Lope sudah berusaha melepaskan jebakan
binatang itu, tapi ia tidak cukup kuat. Diambilnya pisau Beto untuk memutuskan
tali ikatan tangan Mochtar. Oleh Mochtar
jebakan itu berhasil lepas. Dengan
menggendong Beto yang menangis di
punggungnya, mereka berlari dengan cepat
untuk mencari daun obat. Sampai di pinggir sungai, Lope mengobati kaki Beto sementara Mochtar membuat api. Selama itu Beto terus
saja memperhatikan Mochtar dengan pandangan curiga, itu membuat Mochtar merasa tidak
nyaman. Tidak lama kemudian mereka beranjak
tidur dengan posisi yang terpisah antara
Mochtar dengan Lope dan Beto dengan api yang
jadi pemisah mereka. Dalam tidurnya Beto dan Mochtar bermimpi. Saat ia masih kecil, ketika bermain dengan Lope tidak jauh dari rumahnya, sepasukan tentara datang menyerbu desa. Ibunya terbunuh dan ayahnya ditawan. Sejak itu Lope tidak bisa bicara dan mereka berdua tinggal
di hutan. Mochtar bermimpi ketika ia bersama pasukannya menyerang sebuah desa. Ia tidak sengaja menembak seorang anak kecil. Dengan
penuh penyesalan terus ditatapnya rumah dimana
ia menembak anak kecil itu saat desa itu dibumihanguskan. Pagi harinya, Mochtar
terbangun dengan ujung senapan di depan
matanya. Beto berdiri dan mengancam agar
Mochtar mengaku kalau ia adalah TNI. Mochtar
pun jujur. Beto baru ingin menembaknya ketika dengan tiba-tiba Lope menghalanginya. Beto
pun berusaha meyakinkan Lope kalau ayah
mereka pasti telah mati setelah lama ditawan. Namun Lope bersikeras dan menarik tangan
Mochtar untuk membawanya pergi. Beto terpaksa mengikutinya dan terjatuh karena kakinya sakit. Dengan cepat Lope menghampirinya dan mengelus kaki itu sampai tangis Beto terhenti. Mochtar terkesan melihat kelakuan kakak beradik itu,
ia seperti teringat akan sesuatu. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Karena lapar Mochtar
dan Beto menangkap ayam hutan, sementara Lope mengumpulkan kayu bakar. Tapi tiba-tiba ada rentetan tembakan ke arah mereka, ternyata fretilin masih mengejar Mochtar. Ayam pun terlepas dan Mochtar dengan cepat membawa
kedua anak itu untuk lari dan bersembunyi di balik gundukan tanah. Lope mengerang, tangannya berdarah terserempet peluru. Beto bangkit dan mengarahkan senapan kepada Mochtar dengan
berkata dialah penyebab semua ini. satu
tembakan hampir mengenai Beto, Mochtar merebut senapan dari tangan Beto dan balas menembak ke arah Fretilin. Ketika sudah tidak ada lagi tembakan ke arah mereka, Mochtar kembali
membawa kedua anak itu berlari. sekarang tidak ada lagi jarak antara mereka, ketiga orang itu berlari serempak. Mochtar menggendong Beto dan menarik tangan Lope. Tampak kalau dua anak
kecil itu amat perlu perlindungan dari orang dewasa macam Mochtar. Bahkan saat tidur pun mereka saling berpelukan. Mochtar siap dengan segala ancaman yang datang demi melindungi dua anak itu. Ketika kembali melanjutkan perjalan, Beto lagi-lagi meminta Lope untuk kembali
karena perbatasan Dili sudah dekat dan ia
masih yakin kalau ayahnya telah mati. Dengan lembut Mochtar berkata kalau tentara tidak
akan membunuh tawanan dan dia berjanji akan mempertemukan mereka dengannya. Beto bingung,
ada sesuatu yang membuatnya enggan ke Dili tapi ia tidak bisa tinggal sendiri di hutan. Ia
terus menatap kepada Lope, tapi tidak bisa mengambil keputusan.

Rahmad terdiam untuk beberapa saat. Joao tampak menunggu dengan tidak sabar.

JOAO
Terus?

RAHMAD
Cuma itu yang saya tahu.

JOAO
Jadi mereka berhasil sampai ke Dili?
Bertemu dengan ayah mereka?

RAHMAD
Mungkin. Tapi bisa saja fretilin yang
mengejarnya tadi berhasil membunuh
Mochtar sebelum mereka berhasil sampai
Dili.

JOAO
Semoga itu tidak terjadi. Kedua anak itu
pasti sudah dewasa sekarang dan Mochtar
terus naik pangkat.

RAHMAD
Atau mereka semua mati.

JOAO
Ya. Antara berhasil atau tidak. Kalau
berhasil mereka masih ada, kalau tidak
ya pasti sudah mati.

Mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama dan tidak terasa matahari telah berada di atas kepala. Tidak ada percakapan lagi diantara mereka untuk waktu lama. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang pegal. Joao melepaskan daging bekalnya yang tinggal dua potong.

JOAO
(teriak)
Rahmad.

Rahmad menoleh. Dilihatnya Joao yang bersiap melempar sepotong daging untuknya.

RAHMAD
Terakhir.

Joao melempar ke arah Rahmad yang berhasil menangkapnya. Mereka memakan daging itu bersamaan. Kemudian sunyi lagi. Mereka kembali berdiam diri untuk waktu yang lama.

JOAO
Kita sudah pasti mati. Ranjau ini tidak
bisa dimatikan. Untuk apa kita diam terus
disini.

RAHMAD
Saya masih mau menunggu. Barangkali ada
yang bisa menolong. Siapa yang tahu?

JOAO
(teriak keras)
Tolong. Tolong.

Rahmad diam saja. Joao memperhatikan Rahmad yang dia pikir akan melakukan hal yang sama tetapi tidak.

JOAO
Kamu tidak berusaha, bagaimana orang tahu
kita ada disini?

RAHMAD
Percuma berteriak kalau tidak ada yang
dengar.

JOAO
Berarti percuma juga menunggu kalau ranjau
ini pasti meledak.

Mereka kembali berdiam untuk waktu yang lama. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang tegang.

RAHMAD
Sebenarnya waktu kecil saya tidak ingin
jadi tentara. Tapi begitu besar, tidak
tahu kenapa, ini yang saya pilih.

JOAO
Memang mau jadi apa?

RAHMAD
Pemain film.

Joao TERTAWA. Rahmad menatapnya dengan sedikit tersinggung.

RAHMAD
Kamu?

JOAO
Saya? Tidak mau jadi apa-apa. Asal bisa
makan, punya istri dan anak. Itu saja.
Sekolah saja tidak.

Kedua orang itu kembali berdiam diri. Hanya gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan otot mereka yang tegang.

JOAO
Setelah meledak, ada yang akan menemukan
dan mengumpulkan tubuh kita tidak ya?

RAHMAD
Semoga saja.

JOAO
Duarrr. Tangan disana.
(menunjuk sebuah arah)
Kaki disana.
(menunjuk sebuah arah)
Kepala disana.
(menunjuk sebuah arah)
Hahaha. Paling jadi makanan binatang.

Joao masih tertawa, sedangkan Rahmad tidak. Ia malah sedih. Perlahan TAWA JOAO BERHENTI.

RAHMAD
Yang paling saya sesalkan adalah
meninggalkan pacar saya setelah
memerewaninya. Saya janji setelah
pulang dari sini akan menikahinya.

JOAO
Jadi belum menikah, sudah...?

RAHMAD
Ya.

JOAO
Enak dong?

Mendengar pertanyaan itu wajah Rahmad tambah sedih. Penyesalan makin jelas dimatanya. Sangat lama mereka terdiam. Kedua orang mulai mengantuk, terlebih Rahmad yang memang sejak tadi sudah merasakannya. Rahmad tampak berpikir memandangi Joao yang mulai memejamkan mata.

RAHMAD
Main yuk?

JOAO
Main apa?

RAHMAD
Apa kek, biar saya tidak tidur.
Suit misalnya.

JOAO
Saya ngantuk. Kamu saja main sendiri.
Maaf tidak bisa menemani.

Rahmad terlihat kecewa. Sementara Joao terpejam, Rahmad bermain sendiri. Ia menggunakan kedua tangannya untuk suit. Tapi baru saja sebentar, ia segera sadar kalau yang dilakukannya itu konyol. Ia pun langsung berhenti.
Joao tengah tertidur ketika pipinya kejatuhan sesuatu. Ia membuka mata dan memeriksa yang jatuh itu dan mendapati kotoran burung disana. Ia tampak kesal. Sedangkan Rahmad terlihat sedang mengibas-ngibaskan tangannya guna mengusir kumbang besar berwarna hitam yang terbang di sekitar kepalanya. Tapi kumbang itu tidak juga pergi. Mereka tampak putus asa.

RAHMAD
Ayo kita melakukannya sekarang.

JOAO
Ayo. Tapi bareng.

RAHMAD
Ya. Kamu yang menghitung.

JOAO
Jangan bohong.

RAHMAD
Percayalah. Jangan-jangan malah kamu
yang berbohong.

JOAO
Saya janji. Siap?

RAHMAD
Ya.

JOAO
Tiga. Dua. Tunggu, tunggu.

RAHMAD
Apa lagi?

JOAO
Kamu sudah berdoa?

RAHMAD
Dari kemarin.

JOAO
Saya berdoa dulu.

RAHMAD
Jangan lama-lama.

Joao tampak memejamkan mata dan mulutnya bergerak-gerak. Beberapa saat kemudian ia tampak siap. Mereka terlihat kuat.

JOAO
Tiga. Dua. Satu.

Tapi tidak ada yang bergerak sama sekali.

JOAO
Kamu bohong kan?

RAHMAD
Kamu juga. Tidak jadi ah.

JOAO
Saya juga kalau begitu.

Kedua orang itu masih pada posisi masing-masing. Lama mereka berdiam diri. Kebosanan, putus asa, sedih, penyesalan, harapan, dan kepasrahan bercampur di wajah mereka.

JOAO
Kita masih mau menunggu?

RAHMAD
Ya.



Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar