Jumat, 11 Juni 2010

Kembang Ingin Bertanya

Pada sebuah meja makan yang terlapisi taplak bergambar buah-buahan, selain tudung saji yang tidak menutupi apa-apa, juga terdapat satu kantung plastik putih terikat yang membungkus benda berbentuk kotak. Tirai jendela yang sedikit terbuka membawa masuk cahaya tepat mengenai kantung plastik itu.

Pintu terbuka, lalu terdengar suara langkah berlari mendekat. Kembang, anak perempuan berusia empat tahun, berdiri terengah menatap kantung plastik tersebut. Ada keringat di wajah dan rambut bagian depannya yang tipis dan pendek.

“Kakek mau membetulkan rantainya dulu”, ujar suara lemah dari balik pintu.

Kembang seperti tidak mendengarnya. Dengan rasa penasaran dan bayangan akan kemarahan-kemarahan dari orang dewasa yang tinggal dengannya, Kembang membawa langkahnya ke meja makan. Tolehan kepala ke arah pintu mengiringi gerakan tangannya yang lembut dan ragu. Begitu simpul terlepas, tangan kecil Kembang berusaha menguak benda kotak di dalamnya dengan membuatnya selembut mungkin agar suara yang dihasilkan dari gesekan plastik itu tidak sampai ke balik pintu.

Di rumah tanpa televisi ini, sejak lidahnya dapat menghasilkan kata, Kembang sudah dilarang oleh Kakeknya untuk bertanya dan membuka yang tertutup. Larangan tersebut begitu kerasnya, hingga membuat hubungannya dengan sang Kakek menjadi teramat ganjil. Kembang jarang berbicara namun selalu meminta agar air matanya segera terhapus dengan mendekap kakeknya lekat-lekat selepas melanggar aturan karena menuruti rasa penasarannya terhadap sesuatu yang tertutup hingga makian lantang keluar dari mulut sang Kakek dengan lancarnya. Meski masih marah, sang Kakek akan mengelus kepalanya.

Tapi hubungan ganjil ini masih lebih baik dibanding dengan Ibunya. Kembang dan kakeknya baru saja pulang dari lapangan bulu tangkis di dekat rumah mereka untuk belajar sepeda. Sudah lima bulan terakhir ini menjadi hal yang rutin mereka lakukan tiap pagi karena Kembang tidak juga bisa meluncur tanpa bantuan roda ke tiga dan sang kakek tetap mengajarinya dengan kesabaran halus yang baginya aneh sebab rupanya ia juga memiliki itu. Sedang dengan Ibunya, Kembang sama sekali tidak pernah berbicara.

Masih dengan kelembutan seorang pencuri kecil, Kembang membuka tutup kotak yang telah berhasil ia kuak dan menemukan telur ceplok di atas setumpuk nasi putih. “Ibu telah meninggalkan bekalnya,” gumam Kembang pada diri sendiri. Sebuah bayangan jatuh di depannya, di atas kotak bekal itu. Kembang mengangkat wajahnya yang ketakutan dengan perlahan. Kakeknya nampak berdiri marah di balik jendela.

Sadar akan apa yang segera menimpanya, Kembang menjauhi meja makan itu dan mulai menangis tanpa suara. Sebuah tangis berupa sesal yang panjang karena lagi-lagi telah melanggar aturan bahkan sampai saat Kakeknya tiba. Ia terus menangis sambil lekat menatap kantung plastik berisi kotak bekal yang kini telah terbuka.

Tidak seperti biasa, bukannya mengeluarkan makian, sang Kakek malah langsung mengelus kepala cucunya setelah mengetahui isi kantung plastik itu. “Ibumu pasti lupa. Ayo mandi, kita akan mengantarnya.” Kata Kakeknya dengan ceria.

Mendengar itu Kembang melonjak. Yang baru saja diperbuat Kakeknya sama sekali tidak ada dalam bayangannya karena Kembang sudah menebak akan mendapat makian kasar seperti hari-hari sebelumnya.

Lagi-lagi tidak seperti biasa, dengan keceriaan yang pernah hilang, tubuh Kembang diangkat dengan begitu mudah untuk dijadikan burung yang terbang di antara pepohonan, membuat Kembang tertawa seperti yang tidak pernah ia lakukan. Sang Kakek juga heran ketika memikirkan dari mana ia dapat kekuatan itu setelah melewati dapur dan sumur untuk sampai di kamar mandi.

Di tempat ini pun mereka bercanda begitu riangnya. Sang Kakek membiarkan Kembang masuk ke bak mandi atau memakai shampo milik Ibunya. Dan karena kenakalan Kembang yang terus menyiram-nyiram tanpa ingatan bagaimana Kakeknya sebelum hari ini sehingga membuat pakaian Kakeknya basah, orang tua itu jadi ikut mandi bersamanya.

Bahkan sehabis mereka mandi sang Kakek menyerah ketika Kembang ingin mengenakan pakaian pemberian Ayahnya yang saat ini entah kemana dibanding pemberian orang tua itu pada ulang tahun terakhirnya. Ayah Kembang memberikan sebuah terusan berwarna putih dua tahun lalu, sehingga terlalu sempit untuk dipakai sekarang. Namun sang Kakek menurutinya tanpa berhasil menemukan apa yang menjadi alasan untuk tidak memaksakan kehendaknya pada Kembang.

“Biar Kembang saja yang membawa bekal itu,” kata Kembang saat Kakeknya mengunci pintu. Mereka meninggalkan rumah dengan bergandeng tangan, menuju pusat kota dimana Ibu Kembang bekerja.

Setelah dua kali berganti angkutan umum, tibalah mereka di Blok M. Ini merupakan kali pertama Kembang melihat begitu banyak orang berkumpul di satu tempat sejak Ayah dan Ibunya membawanya ke Ragunan pada lebaran sebelum Ayahnya pergi. Banyak pertanyaan dalam pikiran Kembang, yang sama sekali tidak berani ia utarakan pada Kakeknya.

“Ini namanya terminal.” kata Kakeknya saat menuju sebuah bus yang akan melewati pusat kota. Mereka lalu memilih tempat duduk di samping supir. Kakeknya mengangkat tangan saat seorang pengamen mengulurkan bungkus permen berisi receh. Kembang terus berusaha menahan pertanyaan seperti yang biasa ia lakukan, sementara Kakeknya tengah berjuang dengan keheranan karena mendapati satu jalur dari beton berpembatas kuning. Setelah pensiun dari Departemen Sosial kurang lebih sepuluh tahun lalu, baru kali ini orang tua itu bepergian sampai sejauh ini.

Bus baru berjalan setelah belasan orang bergelantungan pada besi di atap.

Sampai di ruas jalan utama di pusat kota, sang Kakek kembali heran dengan banyaknya kendaraan yang membuat derak bus yang ditumpanginya begitu lambat. Ia berpikir mungkin ini gara-gara jalur dari beton berpembatas kuning itu. Namun segera ia bantah setelah menyadari bahwa tiap kendaraan juga boleh memakai jalur tersebut. Ia juga menyadari perubahan dari gedung-gedung menjulang di ruas jalan yang sempat amat dikenalinya dulu, ditambah siang yang ia rasa bertambah panas.

Dari tempat duduk mereka di samping supir, Kembang dan Kakeknya melihat semua kendaraan sejuah lima kilo meter di depan bus yang mereka tumpangi berhenti. Tidak lama kemudian, bus itu pun mengikutinya. Sementara di jalur cepat, jalan tampak begitu lengang. Supir sepertinya tahu apa yang terjadi, ia terlihat kesal dengan membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Kembang menatap Kakeknya yang segera menangkap kalau itu adalah sebuah pertanyaan, namun sang Kakek tidak menjawabnya sama sekali. Kembang menunduk ke pangkuannya dimana bekal untuk ibunya berada.

Sudah enam belas menit deretan kendaraan yang kini sepanjang tujuh kilo meter itu tidak juga bergerak. Pakaian sempit yang dikenakan Kembang sudah basah oleh keringat, dan perempuan kecil itu terbatuk dengan perih karena asap yang tidak berjumpa angin dan masuk ke bus dari celah yang ada. Tapi suara batuk itu kalah oleh klakson ketidaksabaran yang seperti katak di musim hujan. Sadar Kakeknya tidak mendengar, Kembang lalu memilih batuk dalam hati, satu hal yang mungkin hanya perempuan kecil ini yang dapat melakukannya.

Dua puluh tiga menit.

Kakek Kembang nampak geram dengan sesekali menoleh ke belakang demi menyaksikan beberapa orang yang turun dari bus atau bayi yang menangis karena kepanasan yang coba ditenangkan oleh suara buruk tembang Ibunya. Orang tua itu sedikit terhibur dengan seragamnya gerutu dan umpatan dari seisi bus yang sama dengan apa yang ingin ia lontarkan.

Tiga puluh delapan menit.

Trotoar dipenuhi orang-orang yang turun dari kendaraan mereka untuk jajan. Tukang bakso malang, rokok, otak-otak, somay, sate padang, dan banyak lagi, sibuk melayani penjual yang mendadak melimpah saat itu. Ada seorang berdasi yang menaiki atap mobil mewahnya untuk mengetahui penyebab macet ini sambil bertengkar di telepon tapi tidak menemukan apa-apa. Untung tidak ada ambulans berisi orang sekarat atau perempuan hamil yang ketubannya pecah.

Empat puluh satu menit.

Sembari batuk dalam hati dan menyeka keringat di antara bibir dan hidungnya dengan tangan kiri, mata merah Kembang menangkap sepasang orang dewasa yang sangat riang di atas sebuah motor. Jaraknya dengan pasangan itu yang tidak begitu jauh membuat Kembang bisa memastikan kulit mereka yang sama-sama hitam, mungkin lebih tepatnya cokelat tua. Tawa mereka sangat lebar, yang membuat gingsul si perempuan terlihat. Walau tidak mengerti, Kembang berharap bahwa suatu saat ia ingin mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan di atas motor itu. Tanpa ia sadari, Kembang tersenyum.

Lima puluh sembilan menit.

Sirine meraung-raung semakin keras. Semua mata menuju sebuah arah. Kerlip lampu berpengaruh pada warna cahaya hingga jadi biru. Itu berasal dari rombongan motor besar yang mengapit sebuah mobil berwarna hitam di depan dan belakangnya yang melaju kencang di jalur cepat. Melihat plat nomer mobil berwarna hitam itu, Kakek Kembang tertegun. Orang tua itu segera menarik tangan cucu perempuannya.

Di pintu bus, mereka terhalang oleh penumpang yang hendak masuk setelah puas jajan di trotoar. Sang Kakek berhasil membawa Kembang menerobosnya, lalu menggendongnya menyeberang. Tiba di trotoar, Kembang kembali diturunkan. Perempuan kecil itu begitu ingin bertanya, tapi kengerian menahannya. Mereka melangkah tanpa ada percakapan. Sampai ketika Kembang melihat kendaraan-kendaraan mulai berjalan, langkahnya terhenti. Sang Kakek menatapnya, Kembang terdiam cukup lama.

“Kenapa kita turun, Kek?” akhirnya Kembang berani bertanya.

“Jumlah menteri ada banyak. Tadi itu baru satu, nanti pasti ada lagi.” kata sang Kakek degan ketus.

Meski tidak jelas baginya, Kembang tidak mau bertanya lagi. Sang Kakek membawanya berjalan menuju tempat Ibu Kembang bekerja dengan berpikir kalau ia juga harus mulai mengubah caranya mendidik Kembang karena menemukan bahwa negerinya telah berubah. Orang tua itu tidak sadar bila ia sudah melakukannya bahkan sebelum sampai di pusat kota.

Bekasi, 2009.

Kamis, 10 Juni 2010

Presiden Tercinta

Malam itu, Presidan merasakan gatal yang disertai perih pada sela jari-jari kakinya. Presiden terkena kutu air. Ia amat gelisah dengan selalu menggaruk kakinya, hingga membuatnya tidak bisa tidur, sedangkan besok pagi akan digelar rapat bersama sejumlah Menteri kabinet untuk membahas tentang pelunasan hutang luar negeri. Sekali lagi Presiden menggaruk kakinya dengan gemas.

Presiden menganggap kutu air bukanlah penyakit yang pantas baginya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh rakyat jika hal ini tersebar. Setelah berpikir keras, hasilnya adalah ia harus merahasiakan penyakit itu dari siapa pun. Ketika istrinya terbangun, sambil menyembunyikan kakinya di balik selimut tebal, Presiden menjawab dengan semangat luar biasa dan mimik yang berlebihan.

“Aku sedang merencanakan satu hal besar untuk bangsa.”

“Apa itu?” istrinya bertanya.

“Masih abstrak, jadi sulit dijelaskan.”

Istrinya berbalik untuk tidur membelakanginya. Presiden menggaruk kakinya dengan lebih gemas lagi.

Dua hari sebelumnya Ibukota dilanda banjir besar, bahkan Istana Negara pun sampai terendam. Presiden bersama Menteri terkait sengaja memantau ke beberapa lokasi yang kondisinya dianggap cukup parah. Dari atas perahu karet tentara, Presiden melambaikan tangannya ke arah para korban yang mengungsi ke atap rumah masing-masing. Tiba-tiba Presiden teringat masa kecilnya karena melihat air kecoklatan di sekelilingnya.

Di kampungnya dulu, tepatnya sebelum ia disunat, Presiden gemar sekali berenang di kali yang bening. Melompat dari ketinggian tanpa pakaian untuk bersenang-senang sepulang dari sekolah. Berlomba siapa yang paling lama menahan nafas di dalam air, atau banyak-banyakan buang air kecil. Ia sadar kalau sudah lama tidak melakukannya. Presiden harus menahan hasratnya untuk menceburkan diri saat itu. Ia mengulurkan tangannya menyentuh air kecoklatan, dan merasakan dingin yang sama dengan air bening di masa kecilnya. Presiden segera mengakhiri kunjungannya.

Ulah Presiden membuat seluruh pengawalnya kerepotan. Beberapa ada yang menjaga di gerbang agar tidak ada wartawan atau orang lewat yang melihat, sementara sisanya harus menuruti perintah untuk berenang bersamanya di halaman istana. Dengan hanya bercelena pendek, Presiden menantang para pengawalnya adu cepat keliling istana memakai gaya punggung di air kecoklatan. Ia memang seorang Presiden yang sehat, terbukti dari tidak ada satu pun pengawal yang dapat menyusulnya walau telah mengeluarkan segenap kemampuan mereka.

Meskipun istrinya telah melarang, Presiden tetap belum rela menyudahi kenangan masa kecilnya. Bukannya membersihkan diri sehabis berenang seperti para pengawalnya, Presiden malah memancing dengan kaki yang sengaja direndam di air kecoklatan sampai jauh malam. Banjir membuat semua ikan peliharaan di kolam istana lepas. Hasil memancingnya hari itu tidak hanya dua ekor Gurame, tapi juga gatal disertai perih pada sela jari-jari kakinya.

Tidak ada satu pun wartawan yang diperkenankan meliput. Yang mereka tahu rapat kali ini tertutup. Presiden memimpin rapat dengan berkali-kali meminta izin ke kamar kecil. Itu dilakukannya untuk sekedar melepas sepatu lalu menggaruk bagian yang gatal, kemudian kembali lagi. Karena terlalu sering, peserta rapat yang terdiri dari sejumlah Menteri dan pengusaha jadi curiga. Tapi tiap mereka menatapnya, Presiden membalas dengan matanya yang khas, yang mengingatkan mereka pada kuasanya.

Menyadari kecurigaan peserta rapat dan ketidakmungkinannya untuk balik lagi ke kamar kecil, dengan ketenangan luar biasa Presiden berkata kepada Menteri Dalam Negeri.

“Tolong panggil Gubernur Ibukota untuk menghadap saya sekarang juga.”

“Yang saya tahu saat ini beliau sedang rapat untuk menanggulangi banjir bersama jajarannya, Pak.” jawab Menteri Dalam Negeri.

“Sekalian suruh mereka ke sini juga. Sekarang. Saya ingin tahu apa yang mereka rapatkan.” tegas Presiden.

Maka Menteri Dalam Negeri berbisik pada asistennya yang langsung mengangguk-angguk.

Rombongan Gubernur Ibukota tiba di hadapan Presiden untuk segera dimintai laporan. Menurut Gubernur Ibukota, rapat yang mereka gelar baru berlangsung beberapa menit sebelum diminta menghadap ke Presiden sehingga belum ada hasilnya. Jawaban Presiden sangat mengejutkan, karena dianggap tidak tangkas dalam mengatasi banjir, Gubernur Ibukota dipecat dan diganti oleh wakilnya yang dilantik saat itu juga. Presiden tahu betul bukan itu alasannya, melainkan karena kutu air yang dideritanya, yang ia anggap sebagai kesalahan Sang Gubernur, hanya saja ia tidak bodoh untuk mengakui yang sebenarnya.

Juru Bicara Kepresidenan mengumumkan hasil rapat kepada para wartawan yang sudah menunggu. Mengenai dipecatnya Gubernur Ibukota karena dianggap kurang tanggap mengatasi banjir. Ketika salah satu wartawan bertanya tentang pelunasan hutang luar negeri, Juru Bicara Kepresidenan terdiam. Ia baru ingat kalau awalnya tujuan diadakan rapat oleh Presiden adalah untuk membahas hal itu, tapi ia bingung sendiri mengapa rapat tadi sama sekali bukan itu yang dibahas.

Butuh waktu lama untuk terus diam sebelum Juru Bicara Kepresidenan mengabarkan bahwa tahun depan semua hutang luar negeri telah lunas. Waktu yang lama tadi juga ia gunakan untuk mencari jawaban jika tahun depan hutang yang dimaksud belum lunas. Ia berharap tahun depan masih mengingatnya jika hal itu benar terjadi sehingga wartawan bertanya kepadanya.

Tidak ada satu pun yang mengetahui dengan jelas bagaimana cara seisi istana menyadari kutu air yang diderita Presiden. Tukang bersih-bersih, juru masak, dan bahkan pengawal istana ramai-ramai membicarakannya. Jelas bukan dia apabila tidak bisa mendengar sendiri desas-desus terhadapnya, maka Presiden mengumpulkan seisi istana untuk menunjukkan kutu airnya. Saat itu warna merah yang terasa gatal dan perih sudah menyebar cukup luas. Tidak ada satu pun yang berani tertawa ketika Presiden menegaskan bahwa hal ini adalah sebuah rahasia negara.

Dokter Kepresidenan yang memeriksanya pun terkejut. Sambil tersenyum ia menyalahkan Presiden karena telah lama menyembunyikannya. Wajah Presiden saat itu amat dingin, lagi-lagi dengan matanya yang khas, yang mengingatkan Dokter Kepresidenan pada kuasanya. Dihapusnya senyum itu, berganti dengan keseriusan yang pura-pura. Untuk menyembuhkan kutu air yang sudah pada tingkat akut itu, Dokter Kepresidenan sengaja melebihkan dosis yang seharusnya. Ia baru bisa tertawa sepuasnya setelah keluar dari istana.

Sama sekali bukan rencananya, sempat terpikirkan pun tidak, bahkan ia harus mengaduk isi kepalanya untuk mengingat ketika seorang teman sekolahnya menyapa. Untuk merayakan pertemuan itu, Dokter Kepresidenan mengajaknya ke sebuah kedai minuman. Mereka kembali muda dalam beberapa gelas. Membicarakan salah satu bagian tubuh spesifik seorang kakak kelas perempuan di sekolah dulu sambil terus memesan minum lagi.

Kepalanya terasa berat sehingga meski mulutnya tidak berhenti bicara, Dokter Kepresidenan tidak sanggup mengangkatnya dari meja. Ia pun bercerita tentang kutu air yang diderita Presiden dengan tawa yang lebih keras dari saat pertama keluar istana. Teman sekolahnya yang masih sedikit sadar itu mencatat. Kegembiraan bertemu teman lama rupanya membuat Dokter Kepresidenan lupa untuk bertanya apa kesibukannya sekarang.

Esok paginya Presiden dikejutkan oleh berita utama di salah satu koran nasional. Ia marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, dengan patriotisme seorang pemimpin bangsa, Presiden memberikan keterangan pers di depan wartawan mengenai penyakitnya. Segera saja berita ini makin meluas sampai ke pelosok yang biasanya miskin informasi. Keterangan pers itu juga dipakai untuk menyampaikan sayembara yang isinya akan memberikan hadiah besar bagi orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya itu.

Segenap anak bangsa yang cerdas yang menuntut ilmu jauh ke negeri orang dan sakti dari wilayah yang kurang terjamah pun datang menghadap. Cara tradisional dan modern ditempuh. Buku ensiklopedia tentang kutu air yang hanya ada di perpustakaan sebuah negara maju pun sengaja di fotocopy.

”Ambil singkong yang masih muda, baru dipetik dari batangnya, lalu kulitnya dikupas dan diparut. Setelah itu tempelkan parutan tersebut pada bagian yang kena kutu air. Jika parutan yang ditempelkan itu sudah mengering maka gantilah dengan parutan yang baru, dengan cara seperti yang di atas, mudah-mudahan kutu air akan sembuh singkat kira-kira 2 hari.”

”Untuk pengobatan secara tradisional, anda bisa mencoba buah mengkudu, morinda citrifolia. Untuk dihaluskan kemudian tempelkan pada bagian kaki yang terkena kutu air setelah dibersihkan. Biarkan mengering, kemudian bersihkan dengan air hangat. Ulangi sesering mungkin.”

”Rendamlah kaki yang terkena kutu air dengan teh hangat selama setengah jam setiap hari sekali.”

Tapi hasilnya nihil. Kutu air presiden bertambah parah. Ia hampir mengalami depresi yang berat. Untunglah ia bertemu dengan seorang motivator handal yang menasehatinya untuk tetap bekerja demi rakyat dengan cara menyingkirkan pikiran tentang penyakit yang dideritanya. Rupanya Presiden terlecut oleh kalimat bekerja demi rakyat yang dilontarkan oleh motivator itu. Ia mulai meninggalkan obat yang harusnya ia minum agar bisa sembuh. Gatal disertai perih pada sela jari-jari kakinya pun mulai dapat ia nikmati sebagai sensasi yang mengagumkan.

Presiden tetap melaksanakan tugas-tugasnya terhadap rakyat dan negara meski dengan kutu air di sela jari-jari kakinya. Koran selalu memujinya dengan menyebutnya sebagai Presiden yang mencintai rakyatnya. Kutu air menjadi penyakit yang dibanggakan, barang siapa terkena kutu air berarti ia hebat. Simpati dari rakyat pun bertambah besar, pamornya bahkan telah melebihi salah seorang mantan Presiden yang dianggap sebagai Bapak Bangsa. Bukan hanya foto wajahnya yang laku keras, tapi juga foto sepasang kaki dengan kutu air lebar juga terdapat di mana-mana.

Penjara segera dipenuhi oleh orang-orang yang memalsukan foto itu. Mereka sengaja mencari orang yang terkena kutu air lalu memotret kakinya. Bagi yang tidak cermat akan mudah saja tertipu ketika membelinya. Seorang pakar telematika yang terkenal saja sulit untuk membedakan mana foto kaki asli Presiden atau bukan. Rakyat jadi resah karena ragu jangan-jangan foto yang mereka miliki palsu.

Terbitnya buku hasil penelitian seorang mahasiswa terhadap foto-foto kaki Presiden dengan kutu air pada akhirnya membuat rakyat merasa tenang. Cara paling mudah untuk membedakannya adalah dari jempolnya. Bentuk jempol kaki kiri Presiden begitu unik, sedikit bengkok dan agak lebih lebar. Maka bila ada foto sepasang kaki dengan kutu air lebar yang jampol kaki kirinya tidak seperti itu pasti palsu. Ini membuat polisi lebih mudah untuk menciduk orang-orang yang menjual foto kaki presiden yang tidak asli.

Satu hari Presiden menyadari kutu air di kakinya mulai mengering. Gatal disertai perih di sela jari-jari kakinya berangsur hilang. Presiden kembali membuat sayembara. Hanya saja kali ini rahasia sehingga yang dipanggil untuk menghadap ke istana adalah orang-orang yang pernah berusaha menyembuhkannya.

”Saya ingin kalian mencari cara agar kutu air saya ini tidak pernah sembuh.” kata Presiden dengan singkat dan dingin.