Pada sebuah meja makan yang terlapisi taplak bergambar buah-buahan, selain tudung saji yang tidak menutupi apa-apa, juga terdapat satu kantung plastik putih terikat yang membungkus benda berbentuk kotak. Tirai jendela yang sedikit terbuka membawa masuk cahaya tepat mengenai kantung plastik itu.
Pintu terbuka, lalu terdengar suara langkah berlari mendekat. Kembang, anak perempuan berusia empat tahun, berdiri terengah menatap kantung plastik tersebut. Ada keringat di wajah dan rambut bagian depannya yang tipis dan pendek.
“Kakek mau membetulkan rantainya dulu”, ujar suara lemah dari balik pintu.
Kembang seperti tidak mendengarnya. Dengan rasa penasaran dan bayangan akan kemarahan-kemarahan dari orang dewasa yang tinggal dengannya, Kembang membawa langkahnya ke meja makan. Tolehan kepala ke arah pintu mengiringi gerakan tangannya yang lembut dan ragu. Begitu simpul terlepas, tangan kecil Kembang berusaha menguak benda kotak di dalamnya dengan membuatnya selembut mungkin agar suara yang dihasilkan dari gesekan plastik itu tidak sampai ke balik pintu.
Di rumah tanpa televisi ini, sejak lidahnya dapat menghasilkan kata, Kembang sudah dilarang oleh Kakeknya untuk bertanya dan membuka yang tertutup. Larangan tersebut begitu kerasnya, hingga membuat hubungannya dengan sang Kakek menjadi teramat ganjil. Kembang jarang berbicara namun selalu meminta agar air matanya segera terhapus dengan mendekap kakeknya lekat-lekat selepas melanggar aturan karena menuruti rasa penasarannya terhadap sesuatu yang tertutup hingga makian lantang keluar dari mulut sang Kakek dengan lancarnya. Meski masih marah, sang Kakek akan mengelus kepalanya.
Tapi hubungan ganjil ini masih lebih baik dibanding dengan Ibunya. Kembang dan kakeknya baru saja pulang dari lapangan bulu tangkis di dekat rumah mereka untuk belajar sepeda. Sudah lima bulan terakhir ini menjadi hal yang rutin mereka lakukan tiap pagi karena Kembang tidak juga bisa meluncur tanpa bantuan roda ke tiga dan sang kakek tetap mengajarinya dengan kesabaran halus yang baginya aneh sebab rupanya ia juga memiliki itu. Sedang dengan Ibunya, Kembang sama sekali tidak pernah berbicara.
Masih dengan kelembutan seorang pencuri kecil, Kembang membuka tutup kotak yang telah berhasil ia kuak dan menemukan telur ceplok di atas setumpuk nasi putih. “Ibu telah meninggalkan bekalnya,” gumam Kembang pada diri sendiri. Sebuah bayangan jatuh di depannya, di atas kotak bekal itu. Kembang mengangkat wajahnya yang ketakutan dengan perlahan. Kakeknya nampak berdiri marah di balik jendela.
Sadar akan apa yang segera menimpanya, Kembang menjauhi meja makan itu dan mulai menangis tanpa suara. Sebuah tangis berupa sesal yang panjang karena lagi-lagi telah melanggar aturan bahkan sampai saat Kakeknya tiba. Ia terus menangis sambil lekat menatap kantung plastik berisi kotak bekal yang kini telah terbuka.
Tidak seperti biasa, bukannya mengeluarkan makian, sang Kakek malah langsung mengelus kepala cucunya setelah mengetahui isi kantung plastik itu. “Ibumu pasti lupa. Ayo mandi, kita akan mengantarnya.” Kata Kakeknya dengan ceria.
Mendengar itu Kembang melonjak. Yang baru saja diperbuat Kakeknya sama sekali tidak ada dalam bayangannya karena Kembang sudah menebak akan mendapat makian kasar seperti hari-hari sebelumnya.
Lagi-lagi tidak seperti biasa, dengan keceriaan yang pernah hilang, tubuh Kembang diangkat dengan begitu mudah untuk dijadikan burung yang terbang di antara pepohonan, membuat Kembang tertawa seperti yang tidak pernah ia lakukan. Sang Kakek juga heran ketika memikirkan dari mana ia dapat kekuatan itu setelah melewati dapur dan sumur untuk sampai di kamar mandi.
Di tempat ini pun mereka bercanda begitu riangnya. Sang Kakek membiarkan Kembang masuk ke bak mandi atau memakai shampo milik Ibunya. Dan karena kenakalan Kembang yang terus menyiram-nyiram tanpa ingatan bagaimana Kakeknya sebelum hari ini sehingga membuat pakaian Kakeknya basah, orang tua itu jadi ikut mandi bersamanya.
Bahkan sehabis mereka mandi sang Kakek menyerah ketika Kembang ingin mengenakan pakaian pemberian Ayahnya yang saat ini entah kemana dibanding pemberian orang tua itu pada ulang tahun terakhirnya. Ayah Kembang memberikan sebuah terusan berwarna putih dua tahun lalu, sehingga terlalu sempit untuk dipakai sekarang. Namun sang Kakek menurutinya tanpa berhasil menemukan apa yang menjadi alasan untuk tidak memaksakan kehendaknya pada Kembang.
“Biar Kembang saja yang membawa bekal itu,” kata Kembang saat Kakeknya mengunci pintu. Mereka meninggalkan rumah dengan bergandeng tangan, menuju pusat kota dimana Ibu Kembang bekerja.
Setelah dua kali berganti angkutan umum, tibalah mereka di Blok M. Ini merupakan kali pertama Kembang melihat begitu banyak orang berkumpul di satu tempat sejak Ayah dan Ibunya membawanya ke Ragunan pada lebaran sebelum Ayahnya pergi. Banyak pertanyaan dalam pikiran Kembang, yang sama sekali tidak berani ia utarakan pada Kakeknya.
“Ini namanya terminal.” kata Kakeknya saat menuju sebuah bus yang akan melewati pusat kota. Mereka lalu memilih tempat duduk di samping supir. Kakeknya mengangkat tangan saat seorang pengamen mengulurkan bungkus permen berisi receh. Kembang terus berusaha menahan pertanyaan seperti yang biasa ia lakukan, sementara Kakeknya tengah berjuang dengan keheranan karena mendapati satu jalur dari beton berpembatas kuning. Setelah pensiun dari Departemen Sosial kurang lebih sepuluh tahun lalu, baru kali ini orang tua itu bepergian sampai sejauh ini.
Bus baru berjalan setelah belasan orang bergelantungan pada besi di atap.
Sampai di ruas jalan utama di pusat kota, sang Kakek kembali heran dengan banyaknya kendaraan yang membuat derak bus yang ditumpanginya begitu lambat. Ia berpikir mungkin ini gara-gara jalur dari beton berpembatas kuning itu. Namun segera ia bantah setelah menyadari bahwa tiap kendaraan juga boleh memakai jalur tersebut. Ia juga menyadari perubahan dari gedung-gedung menjulang di ruas jalan yang sempat amat dikenalinya dulu, ditambah siang yang ia rasa bertambah panas.
Dari tempat duduk mereka di samping supir, Kembang dan Kakeknya melihat semua kendaraan sejuah lima kilo meter di depan bus yang mereka tumpangi berhenti. Tidak lama kemudian, bus itu pun mengikutinya. Sementara di jalur cepat, jalan tampak begitu lengang. Supir sepertinya tahu apa yang terjadi, ia terlihat kesal dengan membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Kembang menatap Kakeknya yang segera menangkap kalau itu adalah sebuah pertanyaan, namun sang Kakek tidak menjawabnya sama sekali. Kembang menunduk ke pangkuannya dimana bekal untuk ibunya berada.
Sudah enam belas menit deretan kendaraan yang kini sepanjang tujuh kilo meter itu tidak juga bergerak. Pakaian sempit yang dikenakan Kembang sudah basah oleh keringat, dan perempuan kecil itu terbatuk dengan perih karena asap yang tidak berjumpa angin dan masuk ke bus dari celah yang ada. Tapi suara batuk itu kalah oleh klakson ketidaksabaran yang seperti katak di musim hujan. Sadar Kakeknya tidak mendengar, Kembang lalu memilih batuk dalam hati, satu hal yang mungkin hanya perempuan kecil ini yang dapat melakukannya.
Dua puluh tiga menit.
Kakek Kembang nampak geram dengan sesekali menoleh ke belakang demi menyaksikan beberapa orang yang turun dari bus atau bayi yang menangis karena kepanasan yang coba ditenangkan oleh suara buruk tembang Ibunya. Orang tua itu sedikit terhibur dengan seragamnya gerutu dan umpatan dari seisi bus yang sama dengan apa yang ingin ia lontarkan.
Tiga puluh delapan menit.
Trotoar dipenuhi orang-orang yang turun dari kendaraan mereka untuk jajan. Tukang bakso malang, rokok, otak-otak, somay, sate padang, dan banyak lagi, sibuk melayani penjual yang mendadak melimpah saat itu. Ada seorang berdasi yang menaiki atap mobil mewahnya untuk mengetahui penyebab macet ini sambil bertengkar di telepon tapi tidak menemukan apa-apa. Untung tidak ada ambulans berisi orang sekarat atau perempuan hamil yang ketubannya pecah.
Empat puluh satu menit.
Sembari batuk dalam hati dan menyeka keringat di antara bibir dan hidungnya dengan tangan kiri, mata merah Kembang menangkap sepasang orang dewasa yang sangat riang di atas sebuah motor. Jaraknya dengan pasangan itu yang tidak begitu jauh membuat Kembang bisa memastikan kulit mereka yang sama-sama hitam, mungkin lebih tepatnya cokelat tua. Tawa mereka sangat lebar, yang membuat gingsul si perempuan terlihat. Walau tidak mengerti, Kembang berharap bahwa suatu saat ia ingin mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan di atas motor itu. Tanpa ia sadari, Kembang tersenyum.
Lima puluh sembilan menit.
Sirine meraung-raung semakin keras. Semua mata menuju sebuah arah. Kerlip lampu berpengaruh pada warna cahaya hingga jadi biru. Itu berasal dari rombongan motor besar yang mengapit sebuah mobil berwarna hitam di depan dan belakangnya yang melaju kencang di jalur cepat. Melihat plat nomer mobil berwarna hitam itu, Kakek Kembang tertegun. Orang tua itu segera menarik tangan cucu perempuannya.
Di pintu bus, mereka terhalang oleh penumpang yang hendak masuk setelah puas jajan di trotoar. Sang Kakek berhasil membawa Kembang menerobosnya, lalu menggendongnya menyeberang. Tiba di trotoar, Kembang kembali diturunkan. Perempuan kecil itu begitu ingin bertanya, tapi kengerian menahannya. Mereka melangkah tanpa ada percakapan. Sampai ketika Kembang melihat kendaraan-kendaraan mulai berjalan, langkahnya terhenti. Sang Kakek menatapnya, Kembang terdiam cukup lama.
“Kenapa kita turun, Kek?” akhirnya Kembang berani bertanya.
“Jumlah menteri ada banyak. Tadi itu baru satu, nanti pasti ada lagi.” kata sang Kakek degan ketus.
Meski tidak jelas baginya, Kembang tidak mau bertanya lagi. Sang Kakek membawanya berjalan menuju tempat Ibu Kembang bekerja dengan berpikir kalau ia juga harus mulai mengubah caranya mendidik Kembang karena menemukan bahwa negerinya telah berubah. Orang tua itu tidak sadar bila ia sudah melakukannya bahkan sebelum sampai di pusat kota.
Bekasi, 2009.